Jumat, 12 September 2014

Kamu Untuk Aku : Part 31




Karena masa lalu akan terbuang, jika memang kita inginkan..



5 tahun kemudian...


Begitu lelaki paruh baya didepannya berdiri dari tempat duduk, Alvin ikut berdiri, membungkukkan badan memberi hormat sebelum rekan bisnis perusahaannya itu pamit untuk pergi.


Alvin duduk kembali, melonggarkan dasi maroon yang Ia kenakan. Melirik sekilas proposal yang ada diatas meja sebelum akhirnya menyimpannya rapi dirak meja kerjanya. 


Alvin menyandarkan tubuhnya letih, mengambil nafas dalam, lalu pikirannya melayang. Banyak yang telah terjadi. Tentang hidupnya, tentang hidup orang-orang disekitarnya. Dirinya pun kini bukan lagi seorang pemuda 18 tahun dengan banyak waktu luang untuk sekedar bermain game online, dia adalah pewaris dari perusahaan tekstil milik keluarganya. Benar. Semuanya telah berubah, bahkan pemilik hatinya.


Ponsel alvin bergetar, membuat alvin tersadar dan segera meraih ponselnya dari atas meja untuk mengangkatnya.


“ Hi.. “ Sapa riang seorang gadis dari seberang telfon.


Senyum Alvin mengembang. “ Hi dear.” Jawabnya lembut.


Gadis itu nampak terkekeh sebentar sebelum kembali berbicara.” Apa sudah waktunya makan siang?” tanyanya. 


Alvin melirik jam tangannya. Ia mengangguk. “ Sudah. Ada apa?”


“Aku ingin memastikan kamu tidak melewatkan makan siang kali ini,BOSS.”


Akhirnya, alvin tertawa. Gadis ini memang paling galak mengenai waktu makannya yang sering terlewatkan.


Belum alvin menjawab, suara di seberang telfon kembali terdengar. “ Kemarilah! ke taman belakang kantormu, aku memasak untukmu.” Katanya di sertai tawa kecil diujung kalimatnya.


Alvin ikut tertawa mendengarnya. “ Kenapa ketawa? Apa kali ini gosong lagi?” tanyanya jahil. Ia teringat dengan nasi goreng yang terasa agak pahit yang dibawakan gadis ini untuk sarapan beberapa hari yang lalu.


“ AISSH!” teriak gadis itu. “ Kenapa diinget-inget sih? Waktu itu kan.. ee.. yang penting kan aku sudah berusaha. “ kata gadis itu lagi, terdengar merajuk dan lucu.


Alvin mengembangkan senyumnya lagi. “ Baiklah, aku berjanji tidak akan membahas itu lagi. Maafin aku dear, kamu jangan marah... Karena, kamu tau,Kamu mengerikan jika sedang marah.”


“ Astaga Alvin! Cepat datang kemari dalam waktu 5 menit! Jika telat! Kamu akan mati!” Klik. 


“ Tuut. Tuut. Tuut.”


Alvin terbahak. Sampai memegangi perutnya yang sakit karena tertawa. Astaga, bukankah itu menggemaskan?


Alvin mengusap airmatanya yang keluar karena tertawa terlalu keras. Setelah itu, dengan berlari kecil Ia menuju tempat yang dimaksud gadis disebrang telfon tadi.Ia ingin segera menemuinya, bukan karena takut mati jika menuju tempat yang dimaksud lebih dari lima menit. Hanya saja, Ia merindukan gadis itu. Gadisnya. Pemilik hatinya kini.




*




Alvin tidak lagi hanya berlari kecil, kini Ia berlari secepat yang Ia bisa. Ia tidak pernah menyangka perusahaan ayahnya ternyata sangat besar.


“ Alvin!”


Alvin langsung berhenti. Merasa tubuhnya menegang mendengar suara yang memanggilnya, rasanya Ia tidak ingin mempercayainya. Tapi suara lembut itu terlalu Ia kenali, sampai otaknya pun tak Ingin untuk menyangkal. Bahkan setelah 5 tahun menghilang sekalipun.


“ Alvin..”


Panggilan yang kedua membuat Alvin sadar, Ia membalikkan badan dengan begitu lambat. Alvin tau, sebenarnya pikirannya pun tak ingin, tapi hatinya menggerakkannya.


Alvin hanya bisa mematung, menatap dengan pandangan yang sulit diartikan.


Gadis itu. Gadis yang memiliki hatinya hampir seumur hidupnya. Benar-benar kembali, tengah tersenyum dengan senyum yang masih sama, begitu tulus dan menyenangkan. Bedanya, kini gadis itu jauh lebih cantik dengan perona merah muda di kedua pipinya dan olesan lipstik merah di bibir tipisnya. 5 tahun tidak bertemu, gadisnya memang telah tumbuh dewasa. Pikiran Alvin melayang, kembali mengingat betapa dulu Ia mencintai gadis itu sedalam yang Ia bisa. 


“  Hi I.fy.” sapanya, akhirnya. Menyunggingkan senyum kaku, seperti halnya tubuhnya.



*




“ Apakabar Al?”


Alvin mengembangkan senyum termanis,” Seperti yang kamu lihat.” Jawabnya.


Ify ikut tersenyum. “ Ya, kamu terlihat sangat baik dengan setelan jas maroon itu.”


“ Apa itu artinya aku terlihat sangat tampan?”


“ Mungkin..”


Keduanya tertawa, terlihat sangat akrab duduk berdua di cafetaria milik perusahaan.


Alvin terlebih dahulu menghentikan tawanya, lebih tertarik melihat gadis dihadapannya yang masih tertawa. “ Sudah sangat lama dari terakhir kita tertawa bersama?”


Ify langsung diam, memalingkan wajah melihat jendela besar disampingnya. “ Ya, sudah hampir 5 tahun.”


“ Dan selama itu juga kamu menghilang, tidak memberi kabar. Apa yang terjadi?” tanya Alvin tidak bisa lagi menutupi rasa penasarannya.


Hening sesaat, Ify sudah menduga pertanyaan seperti ini akan diajukan padanya jika dia kembali ke masalalunya. Dan Ia pikir Ia tidak bisa untuk tidak menjawabnya.


“ Waktu itu.. hidupku begitu sulit. aku sudah seperti orang gila, aku kehilangan arah. Puncaknya, ketika aku Mencintai Rio yang aku pikir akan sedikit memberi warna dihidupku ternyata tidak seperti yang kuharapkan. Kita sama-sama tau, Rio menolakku setelah aku melakukan berbagai hal untuk mendapatkannya, aku semakin gila, aku menangis setiap hari, aku berteriak, mengamuk, melukai diriku sendiri dengan berbagai cara. Aku benar-benar berfikir mati adalah jalan terakhirku..”


Ify diam sebentar, memberi senyum sekilas pada Alvin untuk sedikit mencairkan suasana yang terasa tegang dan serius.


“ Sampai akhirnya, aku dibawa ke psikiater kenalan papa di eropa. Aku sudah sakit jiwa saat itu. aku menghilang. Mengobati luka bersama papa. Sampai sekarang. dan bagaimana menurutmu? Apa aku masih seperti orang sakit jiwa?”


Alvin tidak langsung menjawab, masih tertegun dengan cerita panjang ify ketika menghilang. Sampai akhirnya Ia tersenyum. “ Tidak! kamu masih Ify yang cantik, Ify yang paling mengerti aku dan Rio.” jawab Alvin jujur. Memberi senyumnya sekali lagi.


Ify membalas senyum itu.


“ Hanya saja, bekas goresan-goresan luka ditanganmu menjelaskan bahwa kamu pernah melalui itu dikehidupan lalumu.”


Ify mengikuti arah mata Alvin yang tertuju pada lengan tangannya, lokasi favoritnya ketika menggoreskan pecahan-pecahan cermin dikamarnya-dulu-. Ia menghela nafas, kembali menatap Alvin kemudian memberi senyum. “ Ya. Ini bukti nyata bahwa aku pernah melaluinya.”


“ Sebagai masalalu.” Potong Alvin. Dan Ify mengangguk untuk menyetujuinya.


“ Ya. Sebagai masalalu yang tak akan terulang.”


Senyum Alvin mengembang. “ dan tetap berjanjilah seperti itu.” sahutnya sedikit ragu.


Ify tertawa pelan. “Kamu tampak ragu.” Tuduhnya.


“ Ya. Aku memang ragu soal ini.” jawab Alvin sambil memicingkan matanya mendapati Ify malah tertawa menanggapinya. Kemudian gadis itu nampak sibuk dengan isi didalam tasnya.


“ Mungkin ini bisa menjawab keraguanmu. “ katanya sambil tersenyum puas, sebuah undangan berwarna biru Ia sodorkan tepat di depan wajah Alvin.


“Alyssa.. tristan.” Rapal Alvin membaca dua nama yang tercantum pada undangan berukuran sedang itu. Alyssa. Tristan. Ulangnya dalam pikirannya. “ Astaga! Alyssa! Ini.. Kamu! Kamu akan menikah ?!”


Ify menganggukkan kepala di sela tawanya yang pecah, suatu kepuasan bisa melihat Alvin nampak terkejut seperti itu.


Cukup lama, sampai Ia kembali menatap Alvin sambil tersenyum. “ Datanglah, dan harapan besar bagiku kamu bisa datang dengan kekasihmu.”


Alvin menganggukkan kepala dengan mantap. “ Dengan kekasih? Tentu saja! aku memiliki kekasih yang cantik dan lucu. ” jawabnya mantap.


Setelahnya, Alvin diam. Seperti diingatkan sesuatu yang terlupakan karena bertemu dengan gadis didepannya kini. Oh ya tuhan.” Ify, demi tuhan aku harus pergi! Percayalah, pertemuan tidak terduga ini bikin aku telat ketemu pacarku. Astaga Aku bisa mati.” Kata Alvin panik, saat ini dia sudah berdiri dari duduknya. “ Kita harus bertemu lain kali, karena kamu harus bercerita tentang calon suamimu. See you.” Katanya lagi. dan dengan secepat kilat dia berlari meninggalkan cafetaria dan Ify yang saat ini tengah terbahak.




***



Keduanya tengah terbahak, ketika Alvin berdehem sekuat yang Ia bisa. Membuat laki-laki dan perempuan itu dengan serentak menoleh kearahnya.


Dan yang selanjutnya terjadi, si laki-laki nampak gelisah dengan langsung berdiri terburu-buru. “ Ee.. sivia senang bertemu denganmu. Tapi, sepertinya aku sudah harus pergi. Waktu makan siangku sudah habis. See you. “ katanya, lalu segera pergi.


Si gadis nampak tersenyum sambil membalas lambaian tangan pemuda yang baru ia tau bernama dito dan bekerja sebagai salah satu staff dibagian penjualan di perusahaan jonathan. 


“ Aku? kamu? apa aku tidak salah dengar?” kata Alvin menyindir. Membuat Sivia langsung menoleh dengan cepat.


“ Tidak. Jika pendengaranmu tidak bermasalah.”


Alvin menggeram marah, “ Kata-kata anda sedikit tidak sopan Sivia Azizah.”


“ Lalu kamu pikir membuat aku menunggu hampir satu jam itu sopan?” tanya Sivia bergetar, matanya sudah basah karena airmatanya luruh begitu Ia mengatakannya. “ Bahkan kamu tidak membalas pesan atau mengangkat panggilanku sekalipun. Apa itu sopan?” cercanya lagi.


Alvin reflek meraba saku celananya dan tidak mendapatkan ponselnya yang biasa Ia letakkan disana. Sial. Dia tidak membawa ponselnya.


Tangis Sivia makin keras, kedua tangannya menungkup untuk menutupi wajahnya.


Alvin menghela nafas, Ia tidak bisa lagi marah pada gadis didepannya. Bagaimana pun juga Ia bersalah dalam kasus ini. Ia melangkah untuk mendekati Sivia, kemudian memeluk tubuh itu seerat mungkin.


“ Maafin aku.. “ suara Sivia terdengar berdecit disela tangisnya.


Alvin menggelengkan kepala.” Tidak. Maafin aku...”


Sivia membrontak untuk meregangkan pelukan Alvin yang begitu erat, kemudian mendongak untuk melihat Alvin dengan matanya yang masih basah. “ Tidak akan. Jika alasanmu tidak penting. “


Alvin terkekeh sebentar. Karena setelahnya Ia disibukkan dengan pikirannya, Ia masih tidak yakin akan menceritakan alasan sebenarnya pada Sivia. Ia tatap mata sivia begitu lama, sampai Ia sadar pancaran kepercayaan dari mata itu, Sivia begitu mempercayainya, dia tidak akan memnutupinya. “ kemarilah. Akan ku beri tau alasanku.”


Sivia mengusap airmatanya, mengikuti Alvin yang mengajak duduk dibangku taman tempat Ia sedari tadi menunggu.


“ Tadi.. aku bertemu cinta pertamaku.”


Sivia mematung, untuk beberapa saat pikirannya memutar berbagai kisah yang Alvin ceritakan padanya, tentang betapa besarnya cinta Alvin pada cinta pertamanya. Iya. Sivia yang paling tau itu.


“ Apa dia masih cantik?” Begitu tanya Sivia tidak jelas.


“ Iya. Dia masih cantik. eumm.. lebih cantik.” ujar Alvin sambil membayangkan, Ify yang nampak cantik dengan dress biru yang menampilkan bentuk tubuhnya yang profesional.


Hati Sivia seperti teriris-iris. Ia sangat tau arti dari semua ini.


“ Kalo begitu kamu bisa mengejarnya kembali.”


Alvin tersentak, Apa yang dikatakan gadisnya barusan. Ia tatap gadis itu lama, dan Alvin baru sadar gadis itu tengah menatapnya dengan datar. Tanpa rasa. Sumpah mati. Alvin tidak ingin melihat tatapan itu, Ia ingin melihat tatapan berbinar dari mata itu, seperti biasanya.


“ Kenapa?”


Sivia nampak terperanjat. Dahinya berkerut sangat dalam. “ Karena dia cinta pertamamu.” jawabnya, kemudian.


Alvin menghela nafas panjang. “ Lalu bagaimana jika itu hanya masalalu. Apa itu artinya aku harus berbalik badan untuk menggapainya?”


Sivia tidak menyahut. Ia juga tidak tau.


“ Apa aku yang sudah membuka lembaran baru harus menutupnya dan membuka kembali buku lama? apa seperti itu aturan mainnya?”


Akhirnya, meski dalam diam, Sivia menggelengkan kepala. 


“ Dan hatiku.. apa tidak bisa jika telah berganti pemiliknya?” suara Alvin semakin pelan. Ia tidak pernah menduga akan mendapat tuduhan seperti itu. dan Ia kecewa.


Airmata sivia kembali merembes disela bulu matanya yang lentik, kemudian secara tiba-tiba Ia memeluk tubuh Pemuda didepannya. Memeluk dengan sangat erat. “ Aku mencintaimu Alvin, tolong jangan tinggalkan aku.” Ujarnya sambil menangis.


Alvin tersenyum tipis. Ia mengerti, gadis itu sedang takut kehilangan dirinya. Alvin balas pelukan Sivia. “ kamu benar-benar bisa membunuhku jika aku melakukannya, jadi berhentilah menangis. Kamu terlalu banyak menangis hari ini.”


Sivia mengangguk dalam pelukan Alvin. Ia lepas pelukan itu, menatap alvin dengan tatapan bersalah. “ Apa kamu masih mau makan bekal dariku?”


Dan tawa Alvin pecah. Bersamaan dengan itu Ia mengusap puncak kepala sivia. Sesederhana itu. Ia Bahagia. Ya hanya itu.




***



Namun bagaimana hidup kita sekarang... masalalu tetap ada untuk mempengaruhinya...


Rio menyisir rambut hitamnya kebelakang, rapi tapi sedikit berantakan. Kemudian dengan telaten Ia memasang dasinya hitamnya, hingga dasi itu terpasang rapi meski membutuhkan waktu yang sangat lama. 5 tahun tinggal sendirian, Rio terbiasa melakukan apapun sendiri. Termasuk memakai dasi yang dulunya sangat Ia hindari, dia tidak ada bakat dalam hal itu. Dulu, Ify yang biasa melakukan untuknya. Dan kini, bahkan keberadaan Ify pun dia tidak tau.


Rio menatap cermin didepannya, 5 tahun yang sulit hingga hari ini tiba.


“ Apa sudah siap, boss?” 


Meski sedikit terkejut, Rio menoleh kearah pintu. Ada Alvin yang menyembulkan kepalanya dipintu masuk ruang ganti.


Rio menjawabnya dengan mengangguk sambil tersenyum tipis.


Alvin membalas senyum itu, melangkah masuk ke ruangan dan berhenti tidak sampai satu meter didepan Rio. “ Usaha kerasmu, sudah terbayar dengan adanya hari ini bukan?.”


Rio tidak langsung menjawab, sedikit menerawang tujuan awal dirinya berjuang begitu keras untuk semua ini. “ Tidak juga.” Jawabnya sambil tersenyum misterius.


Alvin diam saja, mengerutkan dahi tidak mengerti.


“ Usahaku baru saja akan dimulai.”


“ Permisi tuan, mohon maaf, acara akan segera dimulai. Anda diminta untuk bersiap.” Suara tiba-tiba muncul dari pintu, membuat Alvin harus mengatupkan kembali mulutnya yang sudah bersiap untuk bertanya.


“ Ayo. “ ajak Rio, membuat Alvin sadar dari pikirannya dan segera mengekori Rio dibelakangnya.




***




Aula besar sudah ramai ketika Rio memasukinya, membuat orang-orang yang sudah terlebih dahulu berada dalam ruangan mendadak sunyi, Hanya terdengar berkali-kali suara jepretan kamera untuk mengabadikan si pusat perhatian.


Rio menyadari kesunyian yang terjadi dan puluhan mata yang menatapnya penuh rasa takjub. Dengan langkah pelan namun mantap Ia menuju ke tengah panggung. Untuk memulai acaranya, Grand Opening Zhrtiara Corporation, perusahaan perhiasan yang Ia dirikan dan diakui menjadi perusahaan perhiasan terbesar nomor dua di Indonesia. Siapa yang tak takjub dengan itu. Bahkan usianya masih sangat muda dikala kesuksesan menghampirinya.


Rio sudah duduk ditengah panggung, akan dilakukan press conference terlebih dahulu sebelum dilakukan peresmian untuk perusahaannya.


Acara telah dimulai, berjalan begitu lancar hingga memasuki ke sesi di paling ditunggu puluhan para wartawan, sesi Tanya jawab.


“ Baiklah, mulai sekarang anda sekalian bisa mengajukan pertanyaan?” ujar host yang disambut dengan begitu antusias.


“ Pak Mario.. sejak kapan mulai merintis karir anda ini?” Tanya salah satu wartawan yang telah dipilih oleh petugas.


Rio memberi senyum sekilas sebelum menjawab. “ Sejak kejadian yang membuat saya harus melakukan ini, 5 tahun yang lalu.”


“ Seperti apa usaha yang anda lakukan hingga sampai sekarang? Apa mudah-mudah saja karena keluarga haling mengcoveri anda?”


“ Tidak juga. Saya berusaha sangat keras mendapatkannya. Bayangkan saja, saat itu saya sering membolos kuliah, namun saya memiliki tekad untuk selesai kuliah paling lama 3 tahun. Dan untuk cover keluarga haling, sejujurnya haling sama sekali tidak campur tangan dalam hal ini. Ya meski haling tetap saja membantu dalam beberapa hal.”


“ Hal yang seperti apa?”


“ Ya seperti ketika saya dengan sangat mudah mendapatkan pinjaman karena mereka tau nama haling ada di bagian akhir nama saya. Ya seperti itulah.. mungkin mereka pikir saya akan melunasinya dengan mudah karena saya salah satu keluarga haling, padahal saya benar-benar tidak memiliki uang setelah itu. Karena menjadi korban penipuan, saya langsung gagal diusaha saya yang pertama.” 


Semuanya tertawa, Rio menjawabnya dengan menyenangkan.


“ Lalu apa yang anda lakukan sehingga bisa bangkit dari kegagalan yang baru saja anda katakan?”


“ Saya meminjam uang lagi.” Jawabnya singkat dengan tersenyum kecil. Penjuru ruangan kembali dibuat tertawa.


“ Apa ke bank yang sama?” celetuk seorang wartawan yang membuat suasana semakin riuh dengan tawa.


“ Tidak begitu. Karena saya khawatir mereka akan meragukan saya adalah salah satu keluarga haling.” Jawabnya kembali dengan bergurau.” Saya meminjamnya dari Alvin jonathan, seorang pemuda yang sedikit lebih beruntung dari saya.” Jawab Rio, menatap Alvin yang duduk disalah satu bangku audience yang juga sedang menatapnya. “ Dia sahabat saya.” Lanjutnya, membuat para wartawan menganggukkan kepala mengerti dan beberapa ada yang peka dnegan mengikuti arah pandangan Rio, mendapati Alvin berada dikursi hampir belakang. Lalu memotret sosok sahabat itu.


“ Seperti halnya Pria sukses lainnya ada wanita hebat dibelakangnya. apakah anda juga memiliki wanita yang seperti itu?”


Rio diam sebentar, sedikit menerawang gadis yang masih menjadi tujuan hidupnya meski 5 tahun pecariannya tidak menghasilkan apa-apa. “ Tentu saja.” Jawabnya yakin, membuat para wartawan tersenyum antusias.


“ Siapa wanita itu? Apa dia hadir di acara ini?”


“ Tidak. Ada banyak kisah yang telah terjadi, yang membuat kami harus berpisah. Dan adanya perusahaan ini adalah salah satu bentuk usaha untuk kembali bersamanya.”


Ruangan hening. Tidak seperti sebelumnya yang langsung riuh karena para wartawan saling berebut untuk bertanya begitu Rio selesai menjawab pertanyaanya. Entahlah, Suasana terlalu membawa mereka. Membuat mereka sibuk menduga-duga kira-kira kisah apa yang telah terjadi.


Akhirnya Rio berdehem, memecah keheningan.” Baiklah, saya rasa cukup untuk kali ini. Dan dengan disaksikan anda sekalian, Zhrtiara Corporatin resmi saya buka.” Ujarnya mantap, disambut riuh tepuk tangan tamu undangan dan wartawan yang hadir dalam grand opening itu. melambungkan hatinya untuk tetap yakin bahwa Ia akan mencapai keinginannya. Dan dengan dia telah bisa berdiri sendiri dengan kedua kakinya inilah, kekuatannya. Ya. semacam senjata.



***




Acara grand opening itu dilanjutkan pesta perayaan yang cukup meriah. Dan akan diakhiri dengan makan siang bersama.


“ Itu tadi jawaban-jawaban yang bagus.” 


“ Kamu pikir bagitu?”


Gadis yang tadi memujinya mengangguk antusias. “ Tentu saja. Alvin tidak akan bisa melakukan sebaik itu.”


“ APA? sebenarnya yang pacarmu itu siapa sivia?" ” tanya Alvin memotong. Mendelik marah pada gadis berambut pendek yang sekarang tengah mentertawainya.


Rio ikut tertawa, tidak lama karena Ia harus menghentikan tawa ketika merasakan ponsel bergetar didalam saku celananya.


“ Hallo. Ya. Apa?. Apa kamu yakin?. Baiklah. Siapkan penerbangan tercepat menuju jogja. Ya. Terimakasih.”


Rio masih mematung, masih takjub sekaligus tidak percaya. 


“ Apa ada sesuatu yang terjadi?”


Rio menoleh, masih diam ketika bertemu pandang dengan alvin yang menatapnya penasaran.


“Aku menemukannya.”




***



Cklik. Cklik. Cklik.


Gadis itu nampak luwes berpose didepan kamera. Ia salah satu model untuk majalah fashion terkenal di jogjakarta.  


“ Yak. Enough! Good job Ashilla!” Teriak sang photografer sambil tersenyum puas setelah melihat hasil nya.


“ Thanks mas Debo.” Jawab Shilla senang.” Kalo gitu aku langsung pulang aja deh mas.”


“ Kok buru-buru, gak ikut makan malem bareng sekalian.”


“ Enggak deh mas.” Jawab Shilla sambil melihat jam tangannya. “ Udah telat kerja.”


“ Kamu ini! Cafe sendiri gitu. No problem-lah telat .” sahut Debo sambil tertawa kecil.


Shilla ikut tertawa. “ Tapi kan akan lebih baik, aku ngasih contoh yang baik kan mas dengan gak sering telat.”


Debo mengangguk. “ Yaudah hati-hati nyetirnya ya good boss.”


Shilla mengacungkan jempolnya sambil tersenyum lebar. Memakai bannie coklatnya, Lalu segera melesat untuk menuju cafe miliknya, cafe yang Ia rintis sejak 5 tahun yang lalu.



***



Mobil yang membawa Rio telah berhenti, kemudian dengan cepat Ia melompat keluar tanpa menunggu supir bayarannya membukakan pintu untuknya.


Begitu dia keluar dari mobil, dia sudah berdiri di depan cafe yang malam itu ramai pengunjung. Ia melangkah memasuki pintu cafe kemudian mengedarkan pandangan keseluruh penjuru cafe berukuran sedang itu, mencari tempat sekaligus ingin mengagumi arsitektur vintage yang disajikan sang pemilik cafe.


Beruntung, salah satu pengunjung baru saja meninggalkan mejanya, jika tidak mungkin dia tidak mendapatkan tempat duduk. Dengan langkah perlahan dia menghampiri meja tersebut.


Ia melirik jam tangannya, masih pukul 7 malam, masih ada 3 jam sebelum cafe ini tutup. Dan Ia akan setia menunggu, jika tidak bertemu hari ini pun Ia akan kembali esok hari. Akan Ia tunggu seharian, atau bahkan 2 hari. Ia sudah Menunggu 5 tahun, menunggu 2 hari atau 3 hari atau seminggu itu bukan apa-apa.


Jantung Rio seperti berhenti berdetak. Ketika pandangannya secara tidak sengaja menangkap seorang gadis yang baru keluar dari yaris putih yang baru saja terparkir di halaman cafe melalui jendela kaca besar disampingnya. 


Tanpa bisa ditahan, Rio tersenyum senang. Rasanya buncahan kebahagian nyaris membuat jantungnya menculat keluar karena terlalu cepat berdetak. Akhirnya Ia benar-benar menemukannya, gadis yang sepenuhnya menjadi pemilik hatinya hingga sekarang. 


Tanpa melepas pandangannya dari gadis yang saat ini tengah bertukar sapa dengan beberapa pelayan cafe itu, Rio memakai kacamata hitam yang Ia siapkan. Kemudian Ia mengangkat satu tangan untuk memanggil pelayan.


“ Ada yang bisa saya bantu?” tanya pelayan itu ramah.


“ Chocolate late, chees cake”


“ Apa ada yang lain?” 


“ Itu saja. Tapi... pastikan gadis berkupluk itu yang mengantarnya.”


Pelayan itu menautkan alis, mengikuti arah pandang pelanggannya. Setelah mengerti maksud dari ‘gadis berkupluk’ itu Ia merengut kesal, memang apa bedanya jika dirinya yang mengantar. “ Tapi..”


“ Saya mohon..” ujar Rio memohon memberi senyum terbaiknya pada si pelayan, membuat pelayang wanita itu langsung diam dengan mulut terbuka, baru menyadari pelanggannya itu meski aneh karena malam-malam menggunakan kacamata ternyata sangat tampan. 


“ Baiklah. Kalo begitu saya permisi.”





***




“ Mbash..”


“ Ya.” Dengan cepat Shilla menoleh. “ Ada apa ke?”


“ Gue gak tau kenapa. tapi mas- mas yang duduk di deket jendela. Cuma mau lo yang nganterin pesanannya.”


Shilla menautkan alis. Setelahnya, Ia mengerucutkan bibir, merasa kesal dengan permintaan pemuda aneh yang memakai kaca mata hitam itu. Bahkan saat ini dirinya belum mengganti dress baby pinknya dengan seragam pelayan, bisa-bisanya pemuda itu memintanya untuk tetap mengantarkan pesanan.


“ Yaudah sini! ” ujar Shilla, tanpa bisa menutupi kekesalannya. Jika pemuda itu bukan pengunjung cafenya, Shilla tidak sudi menghampirinya. Karena Shilla sangat yakin pemuda itu adalah tipe-tipe pemuda genit yang suka tebar pesona meski sebenarnya pemuda itu memang tampak tampan dari kejauhan.


Dengan sedikit berhentak Shilla berjalan menghampiri pemuda itu, ekpresinya masih sarat dengan kekesalan.




***




Tubuh Rio menegang, gadis itu semakin dekat dengan dirinya. Membuatnya dapat dengan jelas melihat wajah yang 10 kali lebih cantik dari terakhir Ia lihat. 


Dan ketika gadis itu berjarak tidak sampai satu langkah dari dirinya. Rio bisa mencium harum strawberry terkoar dari rambut yang kini panjangnya hanya sebahu. Membuat Jantungnya seakan tidak mau diperintah untuk berdetak dengan teratur. 


Dengan sangat intens Rio mengamati gadis itu meletakkan pesanannya diatas meja. Kini gadis itu benar-benar sudah tumbuh dewasa. Wajahnya yang sudah cantik semakin cantik dengan olesan make up yang tidak berlebihan.


“ Silahkan pesanan anda. “ Ujar gadis itu dengan senyuman yang dibuat-buat. “ Selamat menikmati.” Katanya lagi, menunduk singkat lalu segera berbalik untuk meninggalkannya.


“ Ashilla.”




***




Dengan susah payah shilla menyembunyikan wajah kesalnya, ketika dia sudah berhenti tidak sampai satu langkah dari pemuda genit itu yang Shilla sangat yakini sedang mengamatinya dengan intens dibalik kaca mata hitam itu. ah entahlah, Shilla malas melihatnya lama-lama.


Ia mengembangkan senyum yang dipaksakan. “ Silahkan pesanan anda.” Katanya cepat. Ia akan segera pergi dari jangkauan pemuda genit ini. “ Selamat menikmati. “ ujarnya lagi sebelum berbalik badan untuk pergi.


“ Ashilla.” Shilla belum sempat melangkahkan kakinya untuk pergi ketika mendengar suara barithon itu lagi. Ia mematung, masih tidak percaya. Mungkin hanya salah dengar karena suasana cafe sangat ramai.


“ Apa aku setampan itu sampai kamu tidak mengenalinya?” 


“PRANG” Nampan yang shilla pakai untuk mengantar pesanan jatuh karena sekujur tubuhnya tiba-tiba lemas. Apa semua ini nyata? Jika Iya? Apa yang harus Ia lakukan? Haruskah Ia senang karena akhirnya akan bertemu lagi dengan pemuda yang selama ini masih saja Ia rindukan? Tapi bagaimana dengan janjinya? Janji untuk menghilang dari pemuda ini.


Tubuh Shilla menegang, ketika pemuda itu dengan gerakan cepat memutar badannya, kemudian memeluknya begitu erat. Ia sama sekali tidak bisa mengelak dari pelukan itu, meski sebenarnya pun Ia tak ingin.


Mereka berpelukan sangat lama, seolah banyaknya pandangan dari orang-orang yang juga berada dalam ruangan yang sama bukanlah hal yang nyata.


“ Aku sudah menepati janjiku shilla, berjuang keras untukmu. Bagaimana dengan janjimu?”


Shilla tersentak, suara itu terdengar pelan dan serak, tapi Shilla dengan jelas dapat mendengarnya. Membuatnya harus memutar otak untuk kembali mengulang memori yang tersimpan rapi diingatannya. dalam diam, mulutnya terbuka. benarkah itu? jika iya, pasti Rio sudah sangat berjuang sangat keras. Astaga! “Apa itu artinya kita bisa kembali bersama, mario?” tanya Shilla terdengar ragu.


Senyum Rio mengembang, kemudian Ia mengangguk dengan yakin. “ Ya. Tentu saja.”


Tanpa sadar, Shilla tersenyum penuh kelegaan. “Kalo begitu. Selamanya aku akan bertahan untukmu.” Jawab Shilla kemudian, membalas pelukan Rio dengan sangat erat, seolah tak ingin kehilangan pemuda itu untuk kedua kalinya.


Senyum Rio terkembang, kemudian mengecup ubun-ubun Shilla dengan penuh sayang. Dan Shilla tidak bisa lagi menahan tangis harunya. Shilla menumpahkan tangisnya di  pelukan  Rio  dan  lelaki  itu  memeluk  Shilla  erat-erat,  membenamkan wajahnya di rambut Shilla.


Setelah  tangis  Shilla  mereda,  Rio  mengangkat  dagu  Shilla  agar menghadap ke arahnya, mengusap air mata di pipi Shilla dengan lembut.


“ Ini terakhirnya kalinya kamu menangis saat bersamaku." Kata Rio penuh kelembutan, Shilla segera mengangguk menyetujuinya.


"Ayo kita berlibur.”


Shilla ternganga. “ Ha?”


“ Ya. Ke Venice. Kita akan pergi besok.”


Shilla masih belum menangkap maksud Rio. “ Apa?”


“ Dan kamu cukup tau aku untuk tidak menolak ajakan ini.” kata Rio lagi, lalu memberi seringai kecil melihat ekspresi polos Shilla yang masih tetap sama, menggemaskan.


Shilla mengerjapkan mata beberapa kali untuk sadar dan menangkap maksud Rio. “ Tapi aku belum ijin bunda.”


“ Kalo begitu, bawa aku ke ibu mertua biar aku meminta izin.”


Shilla tidak tahan untuk tidak tertawa, Ia tertawa meski singkat. “ Kamu sangat percaya diri...”


Cup. Shilla diam. Baru saja meski sangat singkat Rio mengecup bibirnya dan ditempat umum dan di tengah orang-orang yang sebagian besar sedang memusatkan perhatian kearah mereka. “ Kamu pikir apa yang baru aja kamu lakuin. Kita ditempat umum.”


Rio mengangkat bahunya acuh.” Biar saja, hanya memberitahu mereka bahwa kamu seutuhnya milikku."


Shilla mendelik dengan mulut terbuka. “ Dasar kamu saja yang mesum!” Gerutunya.


“ Aku pikir kamu lebih mesum.” Ujar Rio menerawang, sambil tersenyum jahil diakhir kalimatnya.


Pipi Shilla memanas, tiba-tiba merasa malu meski belum yakin betul alasan pemuda didepannya mengatakan hal itu. " Maksudnya?"


 " Apa kamu benar-benar sudah melupakannya?" tanya Rio dengan seringaiannya. membuat Shilla kembali mengerutkan dahinya. " Kamu menciumku begitu panas dimalam terakhir pertemuan kita.


Whoa! ASTAGA! Shilla memalingkan wajahnya yang sudah sangat panas. Ia ingat kejadian itu, bahkan Ia tidak pernah melupakannya kan?


“ Nikah aja yuuk. “ Ujar Rio kambali menggoda. Membuat Shilla kembali mendelik kearahnya dengan semu merah pipinya.


“ 5 tahun tidak bertemu, kamu semakin menyebalkan mario.” Rajuk Shilla, sambil melipat tangannya didepan dada.


Rio terkekeh. Kedua tangannya terulur untuk menyentuh kedua pipi Shilla yang masih merah. “ Tapi kamu makin cinta juga kan?”


Shilla tidak langsung menjawab, menatap mata hitam Rio begitu lama dan dalam. Sampai akhirnya Ia mengembangkan senyum termanis lalu memeluk tubuh tinggi Rio, menenggelamkan wajahnya pada dada bidang pemuda yang langsung membalas pelukannya. “ Ya, benar. Meski begitu aku semakin cinta. “


Rio tersenyum, lalu mengecup dahi Shilla.


"Terimakasih  Shilla, Terimakasih sudah  hadir  di  hidupku,"  bisiknya  serak  dengan ketulusan, kemudian menghela nafas panjang. " Terimakasih sudah mengajari aku mencintai dengan begitu dalam, terimakasih sudah  menyentuh  hatiku  sehingga  bisa  merasakan indahnya  mencintai  seseorang,  dan  yang  terpenting  terimakasih  sudah  mau mencintaiku." 


Shilla tidak menyahut, hanya mengangguk untuk menjawabnya.


"Aku mencintaimu  Shilla,  dan aku berjanji  akan membuatmu bahagia, kau boleh pegang janjiku itu."


Shilla tersenyum mendengar tekad kuat dalam suara Rio.


"Aku tahu Rio, aku juga mencintaimu."


Mereka  tetap  berpelukan,  dipenuhi  perasaan  cinta  yang  hangat.  Hanya  ada mereka  berdua  dan kebersamaan  mereka,  Shilla  dan Rio  yang akhirnya  menyerahkan  hatinya  untuk  termiliki  satu sama  lain.  Yang  pada akhirnya bisa saling memiliki satu sama lain.



THE END

Jumat, 29 Agustus 2014

Kamu Untuk Aku : Part 30






“ Ini ticketmu, Pergilah besok.”




Shilla tidak berkomentar, hanya menatap lekat-lekat tikcet pesawat yang sudah diatas meja. Diam-diam memikirkan tentang rencana gila ini. Bagaimana bisa dia terjerumus ke kehidupan yang begitu rumit. Masih dalam diam tangannya terulur untuk mengambil ticket itu. 




“ Kamu sudah bisa pergi.” Begitu kata Zeth lagi, ketika ticket itu sudah berada ditangan gadis dihadapannya.




Shilla mendongak, menatap takut-takut kearah pria paruh baya yang nampak berkuasa dengan wajah tenangnya. Ini untuk kedua kalinya Shilla melihat wajah tenang itu, mendengar suara tegas itu. dan rasanya masih tetap sama, membuatnya gentar.




“ Apalagi yang kamu tunggu? Silahkan per..”




“ Saya ingin bertemu Mario..” Potong Shilla dengan suara bergetar. Entah Ia mendapat kekuatan dari mana.




Mata Zeth menyalang marah. “ Kamu sudah bertemu dengannya dihari kelulusan, dan itu kesempatan terakhirmu.”




“ Saya mohon.” Air mata shilla mulai luruh, mengalir begitu deras karena sudah sejak tadi Ia menahannya. “ Saya mohon.” Ulangnya, menyatukan kedua telapak tangannya, memohon.




“ Memang orang miskin tidak punya malu.”




Hati Shilla teriris, menambah luka baru bahkan ketika luka lalunya belum kering. Untuk pertama kalinya Ia merasa sangat terhina seperti ini. 




Shilla mengambil nafas dalam, cintanya terlalu besar untuk merasa terhina. “ Saya mohon tuan.” Ujar Shilla lagi.




Zeth terlonjak kaget. Bagaimana bisa keyakinan gadis ini sekuat ini. 




“ Saya mohon. Dan keinginan anda akan terpenuhi setelahnya. Sekali ini saja.” Shilla terus memohon.




Zeth memalingkan wajah. Merasa marah sekaligus ragu. “ Kamu akan tau akibatnya jika tidak memenuhinya.”




Shilla menyunggingkan senyum tipis, Ia hapus airmatanya dengan cepat. “ Ya. Saya yang paling tau.”




***




Saat itu jam 7 malam, ketika Shilla mendatangi Rumah Sakit yang merawat Rio. 




Shilla merapikan rok putihnya, lalu keluar dari taxi yang mengantarnya. Shilla tatap gedung besar Rumah sakit itu penuh tekad meski gemetaran.




Shilla menghela nafas panjang, lalu memutuskan untuk mulai melangkah pelan-pelan. 




Tidak perlu berjalan terlalu lama, Shilla sudah berdiri didepan pintu yang kata pusat informasi merupakan ruangan rawat Rio.



Shilla melongok ventilasi ruangan, lalu harus menautkan alis heran karena ruangan rawat Rio terlihat gelap.




“ Dia ada di dalam.”




Shilla terlonjak kaget, lalu memutar badan untuk melihat orang yang baru saja mengatakannya.




“ Dia sengaja matiin lampunya. Katanya biar orang-orang gak liat dia yang lagi terluka. “ Lanjut orang itu.




Shilla terperangah, merasa keraguan mulai meresapi relung hatinya. “ Maafin gue kak. maafin kalo gue terlambat.”




Alvin mengembangkan senyum. “ Terlambat nya lo gak berarti bagi dia Shill. Yang terpenting lo ada.”




Shilla membalas senyum Alvin singkat, lalu mengangguk dalam keraguan.




“ Gue harap lo bisa pikirin ulang keputusan lo Shill.... buat ninggalin Rio.”




Shilla menelan ludah, memilih diam saja.




“ emm.. yaudah. Lo masuk aja. Pasti Rio seneng lo dateng. Apalagi.. malem ini lo cantik shill. “ Ujar Alvin lagi, Mengembangkan senyum lalu melambaikan tangan sebelum pergi.




Setelah kepergian Alvin, Shilla sempatkan melirik dress putihnya. Ia mengembangkan senyum, jika apa yang dikata alvin benar Shilla tidak menyesal menghabiskan waktu hampir satu jam untuk merias diri, memilih-milih baju dari bajunya yang sedikit, Hingga akhirnya Ia memakai dress putih ini, dress siffon dengan renda-renda dibagian bawahnya. Dress lawas favoritnya.




Shilla mengambil nafas sedalam mungkin, meneguhkan keyakinan yang tinggal secuil. Lalu Ia raih kenop pintu itu, merasakan dingin yang terbias dari pendingin ruangan rumah sakit. 







***







Ruangan itu gelap.




Gelap dan sunyi, hanya terdengar suara helaan nafas Rio yang tetap saja berat, meski Ia sudah lakukan berulang kali. 




Tatapan Rio pun Kosong, menatap jendela ruang rawatnya yang menampilkan langit malam yang bertaburan bintang. Langit malam yang sempurna, Terlalu indah untuk disaksikan dirinya sendiri yang sedang terluka. Mungkin Shilla bisa menyempurnakannya. 




Astaga Shilla. Aku merindukanmu. Apa masih bisa? 




Air Rio menetes, bersamaan dengan itu ada seseorang yang membuka pintu ruang rawatnya. 




Rio hapus Air matanya cekatan, menoleh untuk melihat siapa yang datang. Ia mengerutkan dahi, Ia rubah posisinya menjadi duduk, berharap bisa melihatnya, tapi tetap saja Ia tidak bisa melihat seseorang yang saat ini tengah menutup pintu ruang rawatnya kembali. 




Rio mengerutkan dahinya semakin dalam, sama sekali tidak bisa melihat seseorang yang dalam kesunyian melangkah mendekat.




Dan ketika cahaya malam yang tepantul dari jendela besar kamar rawatnya menerangi gadis berbalut dress putih yang saat ini berjarak tidak sampai satu langkah dari bednya, Rio tidak tau harus merasakan apa? Dia ingin berteriak bahagia, tapi ia juga sadar diri atas kesalahan besarnya.




“ Shilla..” Akhirnya hanya kata itu yang keluar dari mulut Rio.




Shilla tidak menyahut, Ia diam saja dan menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.




Lalu ketika dengan tiba-tiba Shilla menyunggingkan sebuah senyum kecil, Rio terperangah. Tiba-tiba sadar karena terlalu lama diam dan menyia-nyiakan waktu untuk mengutarakan penyesalannya. “ Aku minta maaf shilla. Aku gak bermaksud bikin kamu kecewa, waktu itu. aku. Itu di luar perkiraan. Itu.. aku..




Cup. Rio langsung diam, dengan mulut setengah terbuka, merasa takjub sekaligus senang.




***




Shilla memasuki ruangan rawat Rio dengan hati-hati, berusaha tidak menimbulkan kegaduhan karena khawatir jika Rio sudah tidur.




Shilla mematung, untuk beberapa saat dia hanya berdiri didepan pintu, melihat Rio yang menyadari kehadirannya dan segera menoleh untuk melihatnya penasaran, mungkin karena cahaya yang terpantul dari jendela tidak sampai ketempat dia berdiri saat ini, membuatnya tidak terlihat dengan jelas.




Setelah kembali mengambil nafas dalam-dalam, Shilla mulai melangkah pelan. Sambil berharap tidak ambruk di tengah jalan karena kakinya terasa sangat lemas.




Shilla berhenti, tidak sampai satu langkah dari bed Rio. dan pemuda itu nampak terkejut melihatnya, pantulan cahaya dari jendela sudah meneranginya untuk membuatnya terlihat jelas.




Diam cukup lama. sampai pemuda itu menyuarakan namanya dengan sedikit bergetar. “Shilla.”




Shilla tidak menyahut, Ia tengah terlena dengan wajah tampan pemuda itu, Ia ingin merekamnya dengan baik.




Shilla mengembangkan senyum. Pemuda in memang sangat tampan, wajar dia selalu menyombongkannya. Bahkan ketika wajah itu kini berubah panik, wajah itu tetap saja tampan.




“ Aku minta maaf shilla. Aku gak bermaksud bikin kamu kecewa, waktu itu. aku. Itu di luar perkiraan. Itu.. aku..




Dengan tiba-tiba Shilla menyondongkan tubuhnya, lalu mengecup bibir Rio dengan kecupan singkat. Hal itu membuat Rio langsung diam dengan mulut yang masih terbuka sebagian, karena ucapannya harus diberhentikan paksa dengan kecupan itu.




Shilla tersenyum malu-malu, lalu menundukkan wajahnya sedalam mungkin. “ Aku sudah memaafkanmu.” Katanya, melirik Rio sekilas yang langsung tersenyum mendengarnya. Apalagi pipi Shilla langsung memerah saat mengatakannya.




Rio beranjak dari bednya, merasa nyeri yang seharian ini Ia rasakan menyerang hampir seluruh tubuhnya sembuh begitu saja. Kini Ia sudah berdiri tepat didepan Shilla, lalu satu tangannya terulur untuk membelai wajah Shilla yang sangat Ia rindukan. 




Shilla sudah hampir menangis ketika Rio melakukannya, ini benar-benar akan sulit. Ia terlalu mencintai Rio. Ia tidak bisa meninggalkan pemuda ini. Apa benar-benar tidak ada jalan lain. Tolong jawab. Ia mencintai rio, sungguh. Shilla mohon.. 




Akhirnya Air mata shilla menetes, bersamaan dengan itu dengan gerakan cepat Ia berjinjit, merangkul kepala Rio lalu mencium bibirnya. Berharap pemuda itu tidak menyadari airmatanya.




Tubuh Rio kaku dengan rasa terkejut dan luar biasa, gadis itu dengan bibir yang lembut mencoba menciumnya dengan membabi-buta, meski tidak mengerti apa yang membuat gadis ini tiba-tiba melakukannya, Ia membalas ciuman itu.




Dengan erat dirangkulnya pinggang Shilla, setengah mengangkatnya agar merapat ke tubuhnya dan diciumnya bibir gadis itu lebih dalam.




Rio memperdalam ciumannya, seolah-olah ingin melumat bibir Shilla sampai habis, tanpa disangka meski bersusah payah, shilla berusaha mengimbanginya. lama sekali Rio mencium Shilla, sampai napas mereka berdua terengah-engah ketika Rio melepaskan ciumannya.




“A.ku.. men.cin..taimu..” Kata Rio disela nafasnya yang masih megap-megap.




Tiba-tiba Shilla memeluknya, erat sekali. membuat Rio harus menautkan alisnya lagi, merasa aneh dengan sikap gadis didepannya malam ini. Meski begitu Ia balas pelukan Shilla. seolah-olah menyalurkan kerinduan yang begitu besar karena harus dipisahkan dalam kurun waktu yang cukup lama.




***





Sudah dari 15 menit yang lalu Shilla berbaring dalam pelukan Rio. Dengan nyaman Ia makin bergelung dalam pelukan pemuda itu. Dan secara otomatis Rio mengetatkan pelukannya, melingkarkan lengannya erat-erat di tubuh Shilla.




Shilla memejamkan matanya, menenggelamkan wajahnya di dada bidang Rio, menghirup aroma Rio kuat-kuat dan menyimpannya rapat-rapat dalam memorinya. Tiba-tiba air mata merembes dari sela bulu matanya, dan Shilla menahannya agar tidak menjadi isakan.




Kenapa? Kenapa Tuhan membuatnya jatuh cinta kepada Rio jika akhirnya dia diminta untuk meninggalkan cinta ini? Apa rencana Tuhan di balik semua peristiwa ini? 




Shilla mengigit bibirnya agar tangisnya tidak semakin keras dan Membuat Rio bertanya, dia tidak boleh menangis. Ini semua sudah menjadi keputusannya. Dia akan tetap pergi tidak peduli seberapa besar cintanya. Bersama Shilla, Rio hanya akan hancur. Rio hanya akan sakit. Shilla terlalu cinta, sampai tidak rela Rio mengalaminya, sudah cukup pemuda itu terluka dengan segala perjalanan hidupnya. Shilla tidak ingin menjadi salah satu kerikil kecil yang menambah lukanya.




Astaga. Shilla sudah memutuskan dalam hatinya, tapi kenapa hatinya tetap terasa begitu sakit? Rasanya seperti disayat-sayat ketika memikirkan Rio, ketika ingatannya melayang pada setiap kebersamaan mereka. Kenapa rasanya masih terasa begitu sakit?




Pelukan Rio tiba-tiba mengencang dan Pemuda itu dengan lembut mengecup ubun-ubun Shilla. “ Apa dingin?” Tanyanya dengan suara serak, Ia hanya merasa tubuh Shilla bergetar dalam pelukannya.




Shilla mendongakkan wajah dan mendapati mata hitam itu menatapnya. Ia tersenyum lembut, lalu menggeleng.




“ Apa ada yang sedang kamu khawatirkan?” 




Sekali lagi Shilla menggeleng dan menenggelamkan wajahnya ke dada Rio, menahan air mata. Ini adalah saat berharganya. Berada dalam pelukan erat Rio, merasakan kelembutan dan kemesraannya. Dia akan menyimpan kenangan ini dihatinya, biar di saat-saat dia merasa pedih dan merindukan Rio, dia tinggal menarik keluar kenangan tentang malam ini, dan hatinya bisa terasa hangat.




Seolah mengerti pikiran Shilla yang berkecamuk, Rio tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya memeluk Shilla erat-erat dan mengusap punggungnya dengan lembut, mereka larut dalam keheningan dan usapan Rio membuat Shilla setengah tertidur, Ia lelah.




“ Jangan pernah tinggalin aku Shilla.” bisik Rio lembut, menggugah Shilla dari kondisi setengah tidurnya.




Shilla mendongakkan kepalanya lagi dan menatap Rio lembut.




“ Yang aku tau, aku akan selalu mencintaimu Mario.” Jawab Shilla. Tangannya dengan hati-hati mengusap wajah Rio, takut akan reaksi Rio karena dia tidak pernah melakukannya sebelumnya. Tapi Rio langsung memejamkan mata, menikmati setiap usapan Shilla dengan penuh perasaan.




Merasa mendapatkan izin, dengan lembut Shilla menggerakkan tangannya, meraba wajah Rio. Mulai dari dahinya, lalu ke alisnya yang tebal, ke mata yang terpejam itu, ke bulu mata tebal yang hampir menyentuh pipi ketika Rio terpejam, ke hidungnya, ke tulang pipinya yang tinggi, ke rahangnya yang kokoh, hingga ke bibirnya yang tipis tapi penuh. 




“Shilla..” Rio mendesis. mengernyitkan keningnya merasakan usapan lembut Shilla di wajahnya, tangannya lalu menahan jemari Shilla di bibirnya dan mengecupnya, mata hitamnya membuka dan menatap Shilla dengan begitu lembut.




Shilla menatap mata itu, membawa dirinya sedalam mungkin untuk menikmati tatapan itu. Shilla juga akan mengingat yang satu ini.




Hening sesaat. Sampai Rio mendesah keras. “ Dengarkan aku Shilla. Aku tidak akan menjanjikan apa-apa. Tapi yang perlu kamu tau, aku akan berjuang sangat keras untuk kamu.. untuk kita.” Katanya.




Shilla tercenung mendengarkan kata-kata itu, Shilla ingin meyakininya, mempercayai Rio yang mengatakannya. Namun lagi-lagi takdir bahkan tidak mengizinkannya untuk mempercayai ini semua. Membuatnya seperti tidak nyata.




“ Jadi kumohon.. bertahanlah. Hanya bertahan Shilla, itu udah lebih dari cukup.”




Shilla tidak menyahut. Bibirnya membentuk sebuah senyum miring. Bahkan dia sudah tidak bisa lagi meinginkan sesuatu untuk hidupnya.




“ Kamu akan bertahan kan Shilla?” tanya Rio Lagi, merasa curiga karena shilla tak menjawabnya.




Shilla tidak mengeluarkan suara, tapi Ia mengangguk untuk menjawabnya.




Senyum Rio berkembang lega, mengecup ubun-ubun Shilla penuh kasih sayang. Malam ini akan menjadi awal yang indah untuk harinya yang Ia rencanakan Indah. Tapi itu hanya rencananya , ya, rencana.






***




Rio merasakan seluruh tubuhnya sakit dan pegal. Dengan mengerutkan dahi dia mencoba menggerakkan badannya. Oh...memang pegal sekali rasanya, pelan pelan dibukanya matanya, cahaya kamar masih tampak redup, suasana kamar terasa sejuk dan menyenangkan.




“Selamat pagi..”




Sapaan itu begitu mengejutkan, menembus kesadarannya yang masih berkabut, Ia menoleh menghadap pintu, dan matanya langsung bertatapan dengan perawat muda dengan seragam putih yang langsung memberinya senyum. Putih? Shilla juga mengenakan dress putih yang cantik.




“Shilla.” desisnya, baru sadar tidak mendapati Shilla yang harusnya ada disampingnya. 




“Shilla.” desisnya lagi lebih keras, Ia bangkit dengan cepat. menghampiri kamar mandi yang ada di dalam ruangan itu. Ia membuka pintu kamar mandi yang tidak terkunci. 




“Shilla.” Panggilnya, melongok ke dalam kamar mandi dan tidak menemukan siapa-siapa.




Ia menghampiri suster yang masih berada di ruangan itu, “ Apa anda tau dimana shilla?” tanyanya tidak jelas. Suster yang sedari tadi mengerutkan dahi karena heran pasien tampannya langsung panik dan memanggil-manggil nama Shilla begitu ia masuk kedalam ruangan, semakin memperdalam kerutan didahinya diajukan pertanyaannya seperti itu. memang siapa shillla? Pikirnya.




Menyadari kerutan didahi perawat perempuan itu. Rio mengklarifikasi pertanyaannya. “ Apa Suster liat ada perempuan cantik pake dress putih diruangan ini tadi?”




Suster itu menggeleng cepat.




Dan itu langsung membuat Rio dengan cepat melangkah keluar, melongokan kepala kekanan dan kekiri melihat ke lorong rumah sakit yang merawatnya.




“ Rio..” Rio menoleh cepat, melihat Alvin yang memanggilnya Ia menghampiri pemuda itu dengan langkah lebar-lebar yang dipaksakan.




“ Shilla kemana vin?” tanyanya panik.




Alvin tersentak dengan mulut terbuka sebagian, Ia menggeleng pelan. Apa gadis itu berniat meninggalkan Rio?




Melihat Alvin menggeleng, Rio kembali melangkah. Bermaksud akan mencari Shilla ke seluruh penjuru rumah sakit. Mungkin shilla sedang melihat-lihat rumah sakit yang mewah ini, itu mungkin saja. bukannya gadisnya norak.




Rio tertawa sendiri, meski disaat yang sama airmatanya menetes. Langkahnya terseok-seok. Tubuhnya seperti akan ambruk karena terlalu dipaksakan. 




“ Kamu mau kemana Mario?”




Rio menghentikan langkahnya, kemudian mengangkat kepalanya dengan pelan. Merubah ekpresi paniknya menjadi dingin, menatap dengan sengit laki-laki paruh baya dan perempuan cantik dipelukannya. Ayah dan ibunya. “bukan urusan anda.” Jawabnya ketus, lalu melanjutkan langkahnya.




“ Kamu tidak akan menemukannya sekeras apapun kamu mencari.”




Langkah rio kembali terhenti, mendengar dengan jelas suara ayahnya yang baru saja Ia lewati.” Maksud anda?”




“ Gadis itu meninggalkan jakarta 1 jam yang lalu.”




Rio tetap melanjutkan langkahnya, Ia tidak ingin mempercayainya. Shilla sudah berjanji bertahan untuknya. Gadis itu gadis yang bisa dipercaya kan? Tanyanya dalam hati. IYA. Shillanya bisa dipercaya. Teguhnya. Ia tersenyum tipis, meski bersamaan dengan itu air matanya luruh semakin deras.




“Shilla..” Panggilnya serak, nyaris tak bersuara. Airmatanya kembali mengalir dengan begitu deras. Menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada disana. Namun Ia tidak peduli. Dia hanya butuh Shilla. 




Ia terus melangkah, sampai kakinya tidak bisa lagi menyangga beban tubuhnya, sampai dadanya tidak dapat lagi menyimpan oksigen dengan sempurna. Ia terjatuh, masih menangis sambil memanggil nama Shilla tanpa suara.




Dada Rio semakin sesak, meski Ia telah mencoba menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Ia rengkuh dadanya kuat sekali.




“Rio.. ayo bangun.” Rio mengangkat kepala perlahan, dengan pandangan kabur melihat Alvin membantunya berdiri. Namun dadanya semakin sesak, hingga merasa sekelilingnya semakin nampak tidak nyata.




“Shilla..” desis Rio lagi sebelum akhirnya dia tak ingat apa-apa.







***







“ Apa kamu yakin soal ini?.”




Shilla tersentak. Menoleh kearah ibunya dengan gerak cepat. Cukup lama, keduanya hanya saling menatap. Saling memberi pengertian.




Akhirnya, Shilla mendesah. “ Yakin atau tidak, aku tetap harus pergi bun.”




Ina menarik tubuh Shilla untuk dibawa kepelukannya. “ Kita bisa melewatinya, kamu bisa.” Setelah cukup lama, Ina melonggarkan pelukan itu kemudian menatap Shilla lama, sebelum akhirnya kembali membaca buku resep masakan yang sengaja Ia bawa untuk menemani perjalanan ini.




Sedangkan, Shilla lebih memilih menatap keluar jendela, melihat awan yang nampak indah dan lembut. Tapi siapa yang tahu jika hujan itu akhirnya menimbulkan banjir dijakarta nantinya.




Shilla mengangkat satu ujung bibirnya. Jakarta? 16 tahun shilla mengadu nasibnya di kota penuh hura-hura itu. dan kini Ia akan meninggalkannya. Tidak tahu sampai kapan? Mungkin selamanya. Meninggalkan jakarta, meninggalkan pula kenangan yang terukir manis disana. Tak terkecuali kisah yang termanis, kisah cintanya.




Shilla menghela nafas panjang, merasakan dadanya mulai sesak. Ia tau, semua ini akan sangat sulit. Tapi Shilla juga tau, Ini akan lebih sulit jika dia masih mengikuti kata hatinya. Biarlah logikanya yang menang kali ini. Biarlah hidupnya berjalan mengikuti logikanya.




Shilla kembali mendesah, bukan waktunya untuk mengeluh, bukankah ini jalan yang sudah Ia pilih. Akhirnya, Shilla mengembangkan senyum tipis. Meyakinkan dirinya sendiri.




“Selamat tinggal mario, jaga kesehatanmu, dan berbahagialah.”





***






Ketika Rio membuka mata dia sudah berada di bed ruang rawatnya, mengerjap beberapa kali, karena lampu ruang rawatnya menyilaukan mata. Rio merasa pusingnya sudah hilang, tapi rasa nyeri di tubuhnya belum hilang juga.




Seolah merasakan gerakan Rio, Manda menoleh, dan tersenyum. “ Apa kamu sudah merasa lebih baik?” tanyanya.




Rio diam saja, menoleh kemudian hanya menatap datar wajah ibunya yang nampak letih dengan kerutan yang semakin terlihat nyata. Meski begitu wajah itu tetap cantik, dan diam-diam masih Ia rindukan senyumnya. Sesosok ibu yang Ia butuhkan pengertiannya. “ Apa kalian yang membuat dia pergi?” tanya Rio datar.




“ Mario? “




Manda merasa bersalah, Melihat mario yang seperti tak lagi memiliki rasa. Kemudian, Ia menangis begitu saja.




“ Mama..” panggil Rio ragu. Meski sejujurnya, Sudah sejak lama ingin mengucapkan kata itu. manda diam, panggilan itu menyentuh hatinya.




“ Apa mama yang membuat Shilla pergi? “ tanya Rio mengulangi pertanyaannya, menatap manda dengan sendu. “ Kenapa?” tanyanya lagi.




Manda masih tidak menjawab, hatinya ikut terluka melihat tatapan putranya yang nampak sendu.




“ Rio mencintai Shilla, ma. Kenapa kami dipisahin?”




Hening sesaat, sampai Manda tersadar. Akan mengakui rencana yang telah Ia susun dengan suaminya.“ Papa dan mama.. hanya ingin yang terbaik untuk kamu Rio. “ jawabnya tidak tega.




“ Yang terbaik buat Rio cuma Shilla.”




Manda tersentak, tidak ingin percaya apa yang di dengarnya. Apa gadis itu benar-benar sudah mengambil alih hidup putranya. “ Apa yang membuat Shilla menjadi yang terbaik?” tanya manda akhirnya.




“ Rio gak tau, hanya saja, Meski dia tidak yang terbaik sekalipun, Rio bakal nyari Shilla meski mama sama papa buang Shilla keujung dunia sekalipun.”




“ Mario.. Kamu tidak akan diizinkan untuk mencarinya.” Kata manda, suaranya terdengar semakin pelan dan tercekat.




Rio tidak langsung menjawab, menatap lama wajah cantik itu meski telah dimakan usia, lalu ketika wajah yang kini nampak bersalah memabalas tatapannya, Rio mengembangkan senyum. “ Lalu apa yang harus Rio lakuin biar dapet izin?”




Manda menghela nafas.” Rio, mama mohon mengertilah, cukup jalani hidupmu seperti Rio kami sebelumnya. Kami sangat menyayangimu, itu alasan kami melakukannya. Jadi mengertilah. Mama mohon...”




Rio menghela nafas, tidak menjawab apa-apa. Hanya mengembangkan senyum tipis sebelum kembali menutup mata. Dan saat Ia bangun nanti, ada harapan dalam hatinya, semuanya akan baik-baik saja entah bagaimana takdir membawanya dikehidupan selanjutnya.




“ Dan.. Shilla.. jika memang kita bukan sepasang adam dan hawa yang ditakdirkan hidup bersama. Aku akan selalu berdoa, semoga kamu selalu berbahagia shilla, jadi kumohon berbahagia dimanapun kamu berada,”




Mata Rio terpejam, bersamaan dengan itu air mata mengalir dari sudut matanya. 


Karena takdir tak selamanya membawa kita kepada apa yang kita inginkan. 
Berusahalah sampai rasanya tak bisa lagi diusahakan, kemudian mengertilah....