Jumat, 29 Agustus 2014

Kamu Untuk Aku : Part 30






“ Ini ticketmu, Pergilah besok.”




Shilla tidak berkomentar, hanya menatap lekat-lekat tikcet pesawat yang sudah diatas meja. Diam-diam memikirkan tentang rencana gila ini. Bagaimana bisa dia terjerumus ke kehidupan yang begitu rumit. Masih dalam diam tangannya terulur untuk mengambil ticket itu. 




“ Kamu sudah bisa pergi.” Begitu kata Zeth lagi, ketika ticket itu sudah berada ditangan gadis dihadapannya.




Shilla mendongak, menatap takut-takut kearah pria paruh baya yang nampak berkuasa dengan wajah tenangnya. Ini untuk kedua kalinya Shilla melihat wajah tenang itu, mendengar suara tegas itu. dan rasanya masih tetap sama, membuatnya gentar.




“ Apalagi yang kamu tunggu? Silahkan per..”




“ Saya ingin bertemu Mario..” Potong Shilla dengan suara bergetar. Entah Ia mendapat kekuatan dari mana.




Mata Zeth menyalang marah. “ Kamu sudah bertemu dengannya dihari kelulusan, dan itu kesempatan terakhirmu.”




“ Saya mohon.” Air mata shilla mulai luruh, mengalir begitu deras karena sudah sejak tadi Ia menahannya. “ Saya mohon.” Ulangnya, menyatukan kedua telapak tangannya, memohon.




“ Memang orang miskin tidak punya malu.”




Hati Shilla teriris, menambah luka baru bahkan ketika luka lalunya belum kering. Untuk pertama kalinya Ia merasa sangat terhina seperti ini. 




Shilla mengambil nafas dalam, cintanya terlalu besar untuk merasa terhina. “ Saya mohon tuan.” Ujar Shilla lagi.




Zeth terlonjak kaget. Bagaimana bisa keyakinan gadis ini sekuat ini. 




“ Saya mohon. Dan keinginan anda akan terpenuhi setelahnya. Sekali ini saja.” Shilla terus memohon.




Zeth memalingkan wajah. Merasa marah sekaligus ragu. “ Kamu akan tau akibatnya jika tidak memenuhinya.”




Shilla menyunggingkan senyum tipis, Ia hapus airmatanya dengan cepat. “ Ya. Saya yang paling tau.”




***




Saat itu jam 7 malam, ketika Shilla mendatangi Rumah Sakit yang merawat Rio. 




Shilla merapikan rok putihnya, lalu keluar dari taxi yang mengantarnya. Shilla tatap gedung besar Rumah sakit itu penuh tekad meski gemetaran.




Shilla menghela nafas panjang, lalu memutuskan untuk mulai melangkah pelan-pelan. 




Tidak perlu berjalan terlalu lama, Shilla sudah berdiri didepan pintu yang kata pusat informasi merupakan ruangan rawat Rio.



Shilla melongok ventilasi ruangan, lalu harus menautkan alis heran karena ruangan rawat Rio terlihat gelap.




“ Dia ada di dalam.”




Shilla terlonjak kaget, lalu memutar badan untuk melihat orang yang baru saja mengatakannya.




“ Dia sengaja matiin lampunya. Katanya biar orang-orang gak liat dia yang lagi terluka. “ Lanjut orang itu.




Shilla terperangah, merasa keraguan mulai meresapi relung hatinya. “ Maafin gue kak. maafin kalo gue terlambat.”




Alvin mengembangkan senyum. “ Terlambat nya lo gak berarti bagi dia Shill. Yang terpenting lo ada.”




Shilla membalas senyum Alvin singkat, lalu mengangguk dalam keraguan.




“ Gue harap lo bisa pikirin ulang keputusan lo Shill.... buat ninggalin Rio.”




Shilla menelan ludah, memilih diam saja.




“ emm.. yaudah. Lo masuk aja. Pasti Rio seneng lo dateng. Apalagi.. malem ini lo cantik shill. “ Ujar Alvin lagi, Mengembangkan senyum lalu melambaikan tangan sebelum pergi.




Setelah kepergian Alvin, Shilla sempatkan melirik dress putihnya. Ia mengembangkan senyum, jika apa yang dikata alvin benar Shilla tidak menyesal menghabiskan waktu hampir satu jam untuk merias diri, memilih-milih baju dari bajunya yang sedikit, Hingga akhirnya Ia memakai dress putih ini, dress siffon dengan renda-renda dibagian bawahnya. Dress lawas favoritnya.




Shilla mengambil nafas sedalam mungkin, meneguhkan keyakinan yang tinggal secuil. Lalu Ia raih kenop pintu itu, merasakan dingin yang terbias dari pendingin ruangan rumah sakit. 







***







Ruangan itu gelap.




Gelap dan sunyi, hanya terdengar suara helaan nafas Rio yang tetap saja berat, meski Ia sudah lakukan berulang kali. 




Tatapan Rio pun Kosong, menatap jendela ruang rawatnya yang menampilkan langit malam yang bertaburan bintang. Langit malam yang sempurna, Terlalu indah untuk disaksikan dirinya sendiri yang sedang terluka. Mungkin Shilla bisa menyempurnakannya. 




Astaga Shilla. Aku merindukanmu. Apa masih bisa? 




Air Rio menetes, bersamaan dengan itu ada seseorang yang membuka pintu ruang rawatnya. 




Rio hapus Air matanya cekatan, menoleh untuk melihat siapa yang datang. Ia mengerutkan dahi, Ia rubah posisinya menjadi duduk, berharap bisa melihatnya, tapi tetap saja Ia tidak bisa melihat seseorang yang saat ini tengah menutup pintu ruang rawatnya kembali. 




Rio mengerutkan dahinya semakin dalam, sama sekali tidak bisa melihat seseorang yang dalam kesunyian melangkah mendekat.




Dan ketika cahaya malam yang tepantul dari jendela besar kamar rawatnya menerangi gadis berbalut dress putih yang saat ini berjarak tidak sampai satu langkah dari bednya, Rio tidak tau harus merasakan apa? Dia ingin berteriak bahagia, tapi ia juga sadar diri atas kesalahan besarnya.




“ Shilla..” Akhirnya hanya kata itu yang keluar dari mulut Rio.




Shilla tidak menyahut, Ia diam saja dan menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.




Lalu ketika dengan tiba-tiba Shilla menyunggingkan sebuah senyum kecil, Rio terperangah. Tiba-tiba sadar karena terlalu lama diam dan menyia-nyiakan waktu untuk mengutarakan penyesalannya. “ Aku minta maaf shilla. Aku gak bermaksud bikin kamu kecewa, waktu itu. aku. Itu di luar perkiraan. Itu.. aku..




Cup. Rio langsung diam, dengan mulut setengah terbuka, merasa takjub sekaligus senang.




***




Shilla memasuki ruangan rawat Rio dengan hati-hati, berusaha tidak menimbulkan kegaduhan karena khawatir jika Rio sudah tidur.




Shilla mematung, untuk beberapa saat dia hanya berdiri didepan pintu, melihat Rio yang menyadari kehadirannya dan segera menoleh untuk melihatnya penasaran, mungkin karena cahaya yang terpantul dari jendela tidak sampai ketempat dia berdiri saat ini, membuatnya tidak terlihat dengan jelas.




Setelah kembali mengambil nafas dalam-dalam, Shilla mulai melangkah pelan. Sambil berharap tidak ambruk di tengah jalan karena kakinya terasa sangat lemas.




Shilla berhenti, tidak sampai satu langkah dari bed Rio. dan pemuda itu nampak terkejut melihatnya, pantulan cahaya dari jendela sudah meneranginya untuk membuatnya terlihat jelas.




Diam cukup lama. sampai pemuda itu menyuarakan namanya dengan sedikit bergetar. “Shilla.”




Shilla tidak menyahut, Ia tengah terlena dengan wajah tampan pemuda itu, Ia ingin merekamnya dengan baik.




Shilla mengembangkan senyum. Pemuda in memang sangat tampan, wajar dia selalu menyombongkannya. Bahkan ketika wajah itu kini berubah panik, wajah itu tetap saja tampan.




“ Aku minta maaf shilla. Aku gak bermaksud bikin kamu kecewa, waktu itu. aku. Itu di luar perkiraan. Itu.. aku..




Dengan tiba-tiba Shilla menyondongkan tubuhnya, lalu mengecup bibir Rio dengan kecupan singkat. Hal itu membuat Rio langsung diam dengan mulut yang masih terbuka sebagian, karena ucapannya harus diberhentikan paksa dengan kecupan itu.




Shilla tersenyum malu-malu, lalu menundukkan wajahnya sedalam mungkin. “ Aku sudah memaafkanmu.” Katanya, melirik Rio sekilas yang langsung tersenyum mendengarnya. Apalagi pipi Shilla langsung memerah saat mengatakannya.




Rio beranjak dari bednya, merasa nyeri yang seharian ini Ia rasakan menyerang hampir seluruh tubuhnya sembuh begitu saja. Kini Ia sudah berdiri tepat didepan Shilla, lalu satu tangannya terulur untuk membelai wajah Shilla yang sangat Ia rindukan. 




Shilla sudah hampir menangis ketika Rio melakukannya, ini benar-benar akan sulit. Ia terlalu mencintai Rio. Ia tidak bisa meninggalkan pemuda ini. Apa benar-benar tidak ada jalan lain. Tolong jawab. Ia mencintai rio, sungguh. Shilla mohon.. 




Akhirnya Air mata shilla menetes, bersamaan dengan itu dengan gerakan cepat Ia berjinjit, merangkul kepala Rio lalu mencium bibirnya. Berharap pemuda itu tidak menyadari airmatanya.




Tubuh Rio kaku dengan rasa terkejut dan luar biasa, gadis itu dengan bibir yang lembut mencoba menciumnya dengan membabi-buta, meski tidak mengerti apa yang membuat gadis ini tiba-tiba melakukannya, Ia membalas ciuman itu.




Dengan erat dirangkulnya pinggang Shilla, setengah mengangkatnya agar merapat ke tubuhnya dan diciumnya bibir gadis itu lebih dalam.




Rio memperdalam ciumannya, seolah-olah ingin melumat bibir Shilla sampai habis, tanpa disangka meski bersusah payah, shilla berusaha mengimbanginya. lama sekali Rio mencium Shilla, sampai napas mereka berdua terengah-engah ketika Rio melepaskan ciumannya.




“A.ku.. men.cin..taimu..” Kata Rio disela nafasnya yang masih megap-megap.




Tiba-tiba Shilla memeluknya, erat sekali. membuat Rio harus menautkan alisnya lagi, merasa aneh dengan sikap gadis didepannya malam ini. Meski begitu Ia balas pelukan Shilla. seolah-olah menyalurkan kerinduan yang begitu besar karena harus dipisahkan dalam kurun waktu yang cukup lama.




***





Sudah dari 15 menit yang lalu Shilla berbaring dalam pelukan Rio. Dengan nyaman Ia makin bergelung dalam pelukan pemuda itu. Dan secara otomatis Rio mengetatkan pelukannya, melingkarkan lengannya erat-erat di tubuh Shilla.




Shilla memejamkan matanya, menenggelamkan wajahnya di dada bidang Rio, menghirup aroma Rio kuat-kuat dan menyimpannya rapat-rapat dalam memorinya. Tiba-tiba air mata merembes dari sela bulu matanya, dan Shilla menahannya agar tidak menjadi isakan.




Kenapa? Kenapa Tuhan membuatnya jatuh cinta kepada Rio jika akhirnya dia diminta untuk meninggalkan cinta ini? Apa rencana Tuhan di balik semua peristiwa ini? 




Shilla mengigit bibirnya agar tangisnya tidak semakin keras dan Membuat Rio bertanya, dia tidak boleh menangis. Ini semua sudah menjadi keputusannya. Dia akan tetap pergi tidak peduli seberapa besar cintanya. Bersama Shilla, Rio hanya akan hancur. Rio hanya akan sakit. Shilla terlalu cinta, sampai tidak rela Rio mengalaminya, sudah cukup pemuda itu terluka dengan segala perjalanan hidupnya. Shilla tidak ingin menjadi salah satu kerikil kecil yang menambah lukanya.




Astaga. Shilla sudah memutuskan dalam hatinya, tapi kenapa hatinya tetap terasa begitu sakit? Rasanya seperti disayat-sayat ketika memikirkan Rio, ketika ingatannya melayang pada setiap kebersamaan mereka. Kenapa rasanya masih terasa begitu sakit?




Pelukan Rio tiba-tiba mengencang dan Pemuda itu dengan lembut mengecup ubun-ubun Shilla. “ Apa dingin?” Tanyanya dengan suara serak, Ia hanya merasa tubuh Shilla bergetar dalam pelukannya.




Shilla mendongakkan wajah dan mendapati mata hitam itu menatapnya. Ia tersenyum lembut, lalu menggeleng.




“ Apa ada yang sedang kamu khawatirkan?” 




Sekali lagi Shilla menggeleng dan menenggelamkan wajahnya ke dada Rio, menahan air mata. Ini adalah saat berharganya. Berada dalam pelukan erat Rio, merasakan kelembutan dan kemesraannya. Dia akan menyimpan kenangan ini dihatinya, biar di saat-saat dia merasa pedih dan merindukan Rio, dia tinggal menarik keluar kenangan tentang malam ini, dan hatinya bisa terasa hangat.




Seolah mengerti pikiran Shilla yang berkecamuk, Rio tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya memeluk Shilla erat-erat dan mengusap punggungnya dengan lembut, mereka larut dalam keheningan dan usapan Rio membuat Shilla setengah tertidur, Ia lelah.




“ Jangan pernah tinggalin aku Shilla.” bisik Rio lembut, menggugah Shilla dari kondisi setengah tidurnya.




Shilla mendongakkan kepalanya lagi dan menatap Rio lembut.




“ Yang aku tau, aku akan selalu mencintaimu Mario.” Jawab Shilla. Tangannya dengan hati-hati mengusap wajah Rio, takut akan reaksi Rio karena dia tidak pernah melakukannya sebelumnya. Tapi Rio langsung memejamkan mata, menikmati setiap usapan Shilla dengan penuh perasaan.




Merasa mendapatkan izin, dengan lembut Shilla menggerakkan tangannya, meraba wajah Rio. Mulai dari dahinya, lalu ke alisnya yang tebal, ke mata yang terpejam itu, ke bulu mata tebal yang hampir menyentuh pipi ketika Rio terpejam, ke hidungnya, ke tulang pipinya yang tinggi, ke rahangnya yang kokoh, hingga ke bibirnya yang tipis tapi penuh. 




“Shilla..” Rio mendesis. mengernyitkan keningnya merasakan usapan lembut Shilla di wajahnya, tangannya lalu menahan jemari Shilla di bibirnya dan mengecupnya, mata hitamnya membuka dan menatap Shilla dengan begitu lembut.




Shilla menatap mata itu, membawa dirinya sedalam mungkin untuk menikmati tatapan itu. Shilla juga akan mengingat yang satu ini.




Hening sesaat. Sampai Rio mendesah keras. “ Dengarkan aku Shilla. Aku tidak akan menjanjikan apa-apa. Tapi yang perlu kamu tau, aku akan berjuang sangat keras untuk kamu.. untuk kita.” Katanya.




Shilla tercenung mendengarkan kata-kata itu, Shilla ingin meyakininya, mempercayai Rio yang mengatakannya. Namun lagi-lagi takdir bahkan tidak mengizinkannya untuk mempercayai ini semua. Membuatnya seperti tidak nyata.




“ Jadi kumohon.. bertahanlah. Hanya bertahan Shilla, itu udah lebih dari cukup.”




Shilla tidak menyahut. Bibirnya membentuk sebuah senyum miring. Bahkan dia sudah tidak bisa lagi meinginkan sesuatu untuk hidupnya.




“ Kamu akan bertahan kan Shilla?” tanya Rio Lagi, merasa curiga karena shilla tak menjawabnya.




Shilla tidak mengeluarkan suara, tapi Ia mengangguk untuk menjawabnya.




Senyum Rio berkembang lega, mengecup ubun-ubun Shilla penuh kasih sayang. Malam ini akan menjadi awal yang indah untuk harinya yang Ia rencanakan Indah. Tapi itu hanya rencananya , ya, rencana.






***




Rio merasakan seluruh tubuhnya sakit dan pegal. Dengan mengerutkan dahi dia mencoba menggerakkan badannya. Oh...memang pegal sekali rasanya, pelan pelan dibukanya matanya, cahaya kamar masih tampak redup, suasana kamar terasa sejuk dan menyenangkan.




“Selamat pagi..”




Sapaan itu begitu mengejutkan, menembus kesadarannya yang masih berkabut, Ia menoleh menghadap pintu, dan matanya langsung bertatapan dengan perawat muda dengan seragam putih yang langsung memberinya senyum. Putih? Shilla juga mengenakan dress putih yang cantik.




“Shilla.” desisnya, baru sadar tidak mendapati Shilla yang harusnya ada disampingnya. 




“Shilla.” desisnya lagi lebih keras, Ia bangkit dengan cepat. menghampiri kamar mandi yang ada di dalam ruangan itu. Ia membuka pintu kamar mandi yang tidak terkunci. 




“Shilla.” Panggilnya, melongok ke dalam kamar mandi dan tidak menemukan siapa-siapa.




Ia menghampiri suster yang masih berada di ruangan itu, “ Apa anda tau dimana shilla?” tanyanya tidak jelas. Suster yang sedari tadi mengerutkan dahi karena heran pasien tampannya langsung panik dan memanggil-manggil nama Shilla begitu ia masuk kedalam ruangan, semakin memperdalam kerutan didahinya diajukan pertanyaannya seperti itu. memang siapa shillla? Pikirnya.




Menyadari kerutan didahi perawat perempuan itu. Rio mengklarifikasi pertanyaannya. “ Apa Suster liat ada perempuan cantik pake dress putih diruangan ini tadi?”




Suster itu menggeleng cepat.




Dan itu langsung membuat Rio dengan cepat melangkah keluar, melongokan kepala kekanan dan kekiri melihat ke lorong rumah sakit yang merawatnya.




“ Rio..” Rio menoleh cepat, melihat Alvin yang memanggilnya Ia menghampiri pemuda itu dengan langkah lebar-lebar yang dipaksakan.




“ Shilla kemana vin?” tanyanya panik.




Alvin tersentak dengan mulut terbuka sebagian, Ia menggeleng pelan. Apa gadis itu berniat meninggalkan Rio?




Melihat Alvin menggeleng, Rio kembali melangkah. Bermaksud akan mencari Shilla ke seluruh penjuru rumah sakit. Mungkin shilla sedang melihat-lihat rumah sakit yang mewah ini, itu mungkin saja. bukannya gadisnya norak.




Rio tertawa sendiri, meski disaat yang sama airmatanya menetes. Langkahnya terseok-seok. Tubuhnya seperti akan ambruk karena terlalu dipaksakan. 




“ Kamu mau kemana Mario?”




Rio menghentikan langkahnya, kemudian mengangkat kepalanya dengan pelan. Merubah ekpresi paniknya menjadi dingin, menatap dengan sengit laki-laki paruh baya dan perempuan cantik dipelukannya. Ayah dan ibunya. “bukan urusan anda.” Jawabnya ketus, lalu melanjutkan langkahnya.




“ Kamu tidak akan menemukannya sekeras apapun kamu mencari.”




Langkah rio kembali terhenti, mendengar dengan jelas suara ayahnya yang baru saja Ia lewati.” Maksud anda?”




“ Gadis itu meninggalkan jakarta 1 jam yang lalu.”




Rio tetap melanjutkan langkahnya, Ia tidak ingin mempercayainya. Shilla sudah berjanji bertahan untuknya. Gadis itu gadis yang bisa dipercaya kan? Tanyanya dalam hati. IYA. Shillanya bisa dipercaya. Teguhnya. Ia tersenyum tipis, meski bersamaan dengan itu air matanya luruh semakin deras.




“Shilla..” Panggilnya serak, nyaris tak bersuara. Airmatanya kembali mengalir dengan begitu deras. Menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada disana. Namun Ia tidak peduli. Dia hanya butuh Shilla. 




Ia terus melangkah, sampai kakinya tidak bisa lagi menyangga beban tubuhnya, sampai dadanya tidak dapat lagi menyimpan oksigen dengan sempurna. Ia terjatuh, masih menangis sambil memanggil nama Shilla tanpa suara.




Dada Rio semakin sesak, meski Ia telah mencoba menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Ia rengkuh dadanya kuat sekali.




“Rio.. ayo bangun.” Rio mengangkat kepala perlahan, dengan pandangan kabur melihat Alvin membantunya berdiri. Namun dadanya semakin sesak, hingga merasa sekelilingnya semakin nampak tidak nyata.




“Shilla..” desis Rio lagi sebelum akhirnya dia tak ingat apa-apa.







***







“ Apa kamu yakin soal ini?.”




Shilla tersentak. Menoleh kearah ibunya dengan gerak cepat. Cukup lama, keduanya hanya saling menatap. Saling memberi pengertian.




Akhirnya, Shilla mendesah. “ Yakin atau tidak, aku tetap harus pergi bun.”




Ina menarik tubuh Shilla untuk dibawa kepelukannya. “ Kita bisa melewatinya, kamu bisa.” Setelah cukup lama, Ina melonggarkan pelukan itu kemudian menatap Shilla lama, sebelum akhirnya kembali membaca buku resep masakan yang sengaja Ia bawa untuk menemani perjalanan ini.




Sedangkan, Shilla lebih memilih menatap keluar jendela, melihat awan yang nampak indah dan lembut. Tapi siapa yang tahu jika hujan itu akhirnya menimbulkan banjir dijakarta nantinya.




Shilla mengangkat satu ujung bibirnya. Jakarta? 16 tahun shilla mengadu nasibnya di kota penuh hura-hura itu. dan kini Ia akan meninggalkannya. Tidak tahu sampai kapan? Mungkin selamanya. Meninggalkan jakarta, meninggalkan pula kenangan yang terukir manis disana. Tak terkecuali kisah yang termanis, kisah cintanya.




Shilla menghela nafas panjang, merasakan dadanya mulai sesak. Ia tau, semua ini akan sangat sulit. Tapi Shilla juga tau, Ini akan lebih sulit jika dia masih mengikuti kata hatinya. Biarlah logikanya yang menang kali ini. Biarlah hidupnya berjalan mengikuti logikanya.




Shilla kembali mendesah, bukan waktunya untuk mengeluh, bukankah ini jalan yang sudah Ia pilih. Akhirnya, Shilla mengembangkan senyum tipis. Meyakinkan dirinya sendiri.




“Selamat tinggal mario, jaga kesehatanmu, dan berbahagialah.”





***






Ketika Rio membuka mata dia sudah berada di bed ruang rawatnya, mengerjap beberapa kali, karena lampu ruang rawatnya menyilaukan mata. Rio merasa pusingnya sudah hilang, tapi rasa nyeri di tubuhnya belum hilang juga.




Seolah merasakan gerakan Rio, Manda menoleh, dan tersenyum. “ Apa kamu sudah merasa lebih baik?” tanyanya.




Rio diam saja, menoleh kemudian hanya menatap datar wajah ibunya yang nampak letih dengan kerutan yang semakin terlihat nyata. Meski begitu wajah itu tetap cantik, dan diam-diam masih Ia rindukan senyumnya. Sesosok ibu yang Ia butuhkan pengertiannya. “ Apa kalian yang membuat dia pergi?” tanya Rio datar.




“ Mario? “




Manda merasa bersalah, Melihat mario yang seperti tak lagi memiliki rasa. Kemudian, Ia menangis begitu saja.




“ Mama..” panggil Rio ragu. Meski sejujurnya, Sudah sejak lama ingin mengucapkan kata itu. manda diam, panggilan itu menyentuh hatinya.




“ Apa mama yang membuat Shilla pergi? “ tanya Rio mengulangi pertanyaannya, menatap manda dengan sendu. “ Kenapa?” tanyanya lagi.




Manda masih tidak menjawab, hatinya ikut terluka melihat tatapan putranya yang nampak sendu.




“ Rio mencintai Shilla, ma. Kenapa kami dipisahin?”




Hening sesaat, sampai Manda tersadar. Akan mengakui rencana yang telah Ia susun dengan suaminya.“ Papa dan mama.. hanya ingin yang terbaik untuk kamu Rio. “ jawabnya tidak tega.




“ Yang terbaik buat Rio cuma Shilla.”




Manda tersentak, tidak ingin percaya apa yang di dengarnya. Apa gadis itu benar-benar sudah mengambil alih hidup putranya. “ Apa yang membuat Shilla menjadi yang terbaik?” tanya manda akhirnya.




“ Rio gak tau, hanya saja, Meski dia tidak yang terbaik sekalipun, Rio bakal nyari Shilla meski mama sama papa buang Shilla keujung dunia sekalipun.”




“ Mario.. Kamu tidak akan diizinkan untuk mencarinya.” Kata manda, suaranya terdengar semakin pelan dan tercekat.




Rio tidak langsung menjawab, menatap lama wajah cantik itu meski telah dimakan usia, lalu ketika wajah yang kini nampak bersalah memabalas tatapannya, Rio mengembangkan senyum. “ Lalu apa yang harus Rio lakuin biar dapet izin?”




Manda menghela nafas.” Rio, mama mohon mengertilah, cukup jalani hidupmu seperti Rio kami sebelumnya. Kami sangat menyayangimu, itu alasan kami melakukannya. Jadi mengertilah. Mama mohon...”




Rio menghela nafas, tidak menjawab apa-apa. Hanya mengembangkan senyum tipis sebelum kembali menutup mata. Dan saat Ia bangun nanti, ada harapan dalam hatinya, semuanya akan baik-baik saja entah bagaimana takdir membawanya dikehidupan selanjutnya.




“ Dan.. Shilla.. jika memang kita bukan sepasang adam dan hawa yang ditakdirkan hidup bersama. Aku akan selalu berdoa, semoga kamu selalu berbahagia shilla, jadi kumohon berbahagia dimanapun kamu berada,”




Mata Rio terpejam, bersamaan dengan itu air mata mengalir dari sudut matanya. 


Karena takdir tak selamanya membawa kita kepada apa yang kita inginkan. 
Berusahalah sampai rasanya tak bisa lagi diusahakan, kemudian mengertilah....


Minggu, 10 Agustus 2014

Kamu Untuk Aku : Part 29


Jika cinta ini begitu menyiksa, Ia menyesal karena terlena untuk menerimanya.
Jika cinta ini harus diminta untuk pergi, Ia menyesal telah membiarkannya datang.

Shilla masih duduk bersila di tempat tidurnya. Memeluk erat-erat boneka beruangnya. Tanpa sadar, dia menggigit bibirnya sendiri, menahan sakit dihatinya yang siap membuat tangisnya kembali pecah. Ternyata rasanya lebih sakit dari yang Ia pikir.

Kenapa hati harus terluka dikala ada bunga cinta yang sedang bermekaran?

Shilla menarik nafas panjang. Terasa berat. Bahkan dadanya terasa masih sesak saat dia menghela nafas. Diraihnya ponselnya dengan tangan kanan. Untuk beberapa saat, Shilla hanya menatap layar ponsel itu, masih dicekam keraguan.

Akhirnya, Shilla memantapkan hatinya. Dia tahu, rencana itu mungkin absurd. Tidak masuk akal. Tapi bagaimanapun juga, dia butuh seseorang untuk bersandar, berbagi keluh kesah.

Ditekannya sejumlah tombol di ponsel itu hingga dia menemukan sebuah nama yang dia cari. Keraguan kembali menyelimutinya. Shilla menyandarkan tubuhnya dengan mata terpejam. Berusaha menenangkan diri. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa inilah langkah yang harus dia lakukan. Meskipun ini bukanlah yang dia inginkan.

Akhirnya setelah beberapa tarikan nafas, Shilla membuka matanya. Memainkan kembali jarinya di ponsel. Mengirim pesan pendek. Karena Shilla sadar, mungkin dia tidak akan sanggup berbicara langsung.

“ Kak.. apa bisa kita bertemu? Dan kalo boleh.. aku pinjam bahumu untuk sekedar bersandar.”

Begitu melihat laporan bahwa pesan tadi sudah terkirim, Shilla meletakkan ponsel itu di hadapannya.

Sambil menunggu balasan Gabriel, Shilla termangu. Dalam hati dia bisa membayangkan ekspresi wajah Gabriel, Mungkin dia akan mengerutkan kening. Atau mungkin, Gabriel hanya akan mengangkat alisnya dengan heran.

Shilla kembali mendesah entah untuk yang keberapa kalinya. Ia akan sekalian berpamitan dengan gabriel. Pikirnya.

Setelah cukup lama, Ponsel Shilla bergetar singkat.

Temui aku di Pandan Cafe, jam 10.”

Shilla menautkan kedua alisnya, merasa asing dengan balasan itu, ini terlalu to the point untuk seorang gabriel. Ah entahlah, dia sudah terlalu lelah untuk sekedar memikirkan keganjilan ini.

Shilla tidak membalas lagi pesan itu, melirik jam tangannya. Melihat jam tangannya sudah menunjukkan pukul 08.30, shilla segera berdiri. Bermaksud untuk bersiap-siap, akan sangat menyebalkan jika dia meminta tolong dan dia terlambat.

Shilla menatap hampa ke arah bayangannya yang balik menatapnya. Ada lingkaran hitam di bawah kedua matanya yang nampak sayu. Ia amati lekat-lekat dirinya yang kurus dalam balutan baju rumahan yang terlampau sederhana. Ia bukan apa-apa.

Pergilah sejauh mungkin... sampai mario tidak bisa menemukannya.”

Shilla memalingkan wajah, menghapus air mata yang kembali menetes seperti tidak ada habisnya setelah mengalir semalaman.

Tangisnya kembali pecah. Seolah-olah seperti airmatanya, sakit dihatinya pun tidak ada habisnya.


***


Pricilla membalik lembaran berikutnya buku yang sedang Ia baca, berpura-pura berkonsentrasi dengan buku yang Akhir-akhir ini sering Ia bawa kemana-mana.

Alih-alih bisa menyerap pengetahuan sistem reproduksi wanita yang Ia baca dari buku itu, Pricilla lebih tertarik melirik berkali-kali pemuda didepannya yang nampak tidak nyaman... nampak gelisah.

Dengan sedikit kasar Ia menutup buku tebal itu. membuat pemuda itu sedikit terlonjak lalu menatapnya.

“ Kenapa?” Tanya Pricilla tanpa berbasa-basi.

“Ha?”

“ Gab, kamu gelisah dan itu terlalu jelas.”

Gabriel nampak terperangah, lalu hanya diam menatap pricilla.

“Kamu gak lagi gelisah karena harus bilang ke Shilla kan?”

Telak. Gabriel menegang, karena nyatanya tuduhan Pricilla sangat tepat. Mungkin memang terlalu jelas, Bukannya dia mulai bergelagat gelisah ketika Pricilla membaca pesan Shilla lalu kemudian gadis itu yang membalasnya. Meminta Shilla untuk menemuinya-dengan pricilla- untuk memberitahu Shilla tentang rencana pernikahannya. Padahal belum lama ini Ia dengan tidak tau malunya mengaku pada Shilla bahwa dia masih mencintai gadis itu.

“ Kalo kamu gak bisa, berhenti ngasih janji aku kebahagiaan gab.” Kata Pricilla tenang, meski tersemat tantangan didalamnya.

Gabriel kembali menegang. Ia masih tidak berkomentar.

Hening sesaat. Sampai Gabriel berdiri. “Aku ke toliet dulu.” Katanya, lalu beranjak pergi.

Begitu Gabriel pergi, Pricilla mengembangkan senyum miring. Setragis inikah hidupnya, Ia menikah dan .. hamil dengan orang yang tidak mencintainya. Akan jadi apa sisa hidupnya nanti.

Pricilla mendesah. Lalu ketika Ia mendengar suara lonceng pintu berdenting ketika ada seseorang yang masuk. Entah mengapa Ia tertarik untuk mendongak melihatnya. Dan benar saja, gadis dengan balutan dress bunga-bunga yang nampak sederhana tengah mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru cafe. Gadis yang Ia tunggui, gadis yang gabriel cintai.

Pricilla berdiri, melambai-lambaikan tangannya. “ Shilla. “ panggilnya setengah teriak.

Yang dipanggil segera menoleh dengan ekpresi keheranan, meski begitu gadis itu berjalan menghampirinya.

“Kak. Pri.cilla..” sapa gadis itu nampak ragu.

“Hi Shilla.. ayo duduk.” Kata Pricilla mencoba ramah.

Shilla masih diam saja dengan kedua alis yang saling bertautan.

“ Duduk aja. Mau ketemu Gabriel kan? ” Ujar Pricilla lagi, secara tidak langsung menjawab ketidak mengertian Shilla.

Dalam diam Shilla mengangguk, Ia ambil tempat tepat didepan gadis cantik berambut indah itu. jika dibanding Pricilla, Shilla tentu tidak ada apa-apanya.

Keadaan kembali hening, sampai Shilla berdehem sekali dan bertanya. “ Kak gabrielnya mana ya kak?”

Pricilla yang tadinya tengah mengotak-ngatik gedgetnya, mendongak. “ Ke toilet.” Jawabnya datar. Merasa kebencian sudah mulai menguasai dirinya.

Shilla mengangguk-ngangguk mengerti, lalu kembali memilih diam. tidak menyadari perubahan ekspresi pricilla yang nampak keras.

“ Gue yang minta lo kesini.” Kata Pricilla akhirnya, sudah tidak tahan melihat wajah polos didepannya. Seakan-akan tidak ada dosa yang ditanggungnya, tidak taukah dia bahwa karena dia masa depannya terancam hancur.

Setelah hanya diam cukup lama diam, dengan mulut ternganga. Shilla bertanya.” Maksud kakak apa?”

“ Ya! gue yang baca sms lo, dan gue yang nyuruh lo kesini.” Jawab Pricilla ketus.

“Tapi itu kan Nomor HP kak gabriel kak. kok kakak yang ba...”

“ Gue calon istrinya. Apa gak boleh?” potong Pricilla telak.

Shilla terperangah. Pandangannya mengabur.

“ Gue sama Gabriel sengaja minta lo kesini buat ngasih ini. “ kata Pricilla jahat, Ia sodorkan undangan berwarna hijau tosca dengan Pita merah muda yang mengikatnya. “ Kehadiran kamu yang paling dinanti, datanglah. “

Air mata Shilla sudah menetes ketika dengan lekat-lekat menatap undangan didepannya. “ menikah?” desahnya tidak sadar.

Pricilla tersenyum miring ketika mendengarnya, suara itu terdengar penuh luka. “ Iya. Dan gue harap lo cukup sadar diri untuk mundur teratur Shilla. “

Dengan perlahan Shilla mengangkat kepala. Membalas tatapan Pricilla dengan mata yang sudah basah. “ Urusan aku udah selesai kak. aku pamit. “ kata Shilla akhirnya dengan terbata-bata.

“Ya. Gue bakal bilang Gabriel lo punya urusan mendadak. Makasih buat pengertiannya shilla.”

Shilla mengangguk-ngangguk, lalu pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Sudah cukup Ia terus-menerus menyakiti hatinya yang sudah terluka. Sudah.. cukup. aku mohon..


***

Ina membuka pintu, dan langsung mengerutkan kening melihat raut wajah Shilla yang masih memetakan sisa jejak air matanya.

“ Shilla? “ tanya Ina sambil membuka pintu lebih lebar.

Shilla tidak menyahut, Ia melangkah lebih mendekati ibunya, kemudian memeluknya. “ Ayo kita pergi bunda..” bisik Shilla, suaranya kini kembali bergetar.

Ina mengangguk, kemudian mengusap-usap punggung Shilla yang masih ada dalam pelukannya. Setelah beberapa lama, dia lalu melonggarkan pelukannya, tapi kedua tangannya masih dengan hangat merengkuh pundak Shilla. Ina tersenyum “ Jangan menangis lagi anakku. Berjanjilah.” Ujarnya penuh kasih sayang. Shilla mengangguk, Ina kembali menepuk pundak Shilla.

“Tok.. Tok.. Tok..” Hampir bersamaan Ina dan Shilla menoleh ke arah pintu utama.

Dengan cekatan Shilla menghapus airmata yang sudah terlanjur menetes. Ia memberi senyum singkat pada Ina.“ Shilla aja yang buka bun” ujarnya, lalu segera menghampiri pintu utama rumahnya.

Pintu terbuka dan salah seorang pemuda tengah berdiri memungguinya, “ Kak Alvin?” Panggil Shilla ragu.

Pemuda itu memutar badan dengan cepat.” Shilla.” serunya nampak tersentak.

Meski dengan kening berkerut, Shilla mempersilakan Alvin untuk masuk. “ masuk kak..” tawarnya.

“ Gak usah Shill, gue Cuma ada urusan sebentar.” Sahut Alvin.

Shilla mulai merasa ada yang tidak beres. Tidak biasa-biasanya Alvin datang kerumahnya.” Apa?”

“ Temui Rio Shill, gue mohon.”

“ Gue sibuk kak.” jawabnya cepat. datar.

“ Sebentar aja. Sebelum lo bener-bener milih untuk ninggalin dia.”

Shilla tersentak, apa Alvin tau tentang rencananya. Tapi jika memang sudah tau, harusnya Alvin juga tau meski mau bertemu pun Ia tidak bisa.

“ Dia udah ngecewain aku kak.” Sahut Shilla, beralasan.

“ Ini salah paham Shill. Dia cinta mati sama lo, jadi dia gak mungkin bertindak sebodoh itu kalo itu bikin lo kecewa.”

“ Tapi kenapa dia nyuruh kakak kesini, kenapa dia gak datang sendiri untuk jelasin ke aku?” tanyanya masih mencari alasan.

Alvin mendesah. Emosinya mulai naik, dia tidak senang dengan gadis didepannya yang nampak tak acuh. Tidak taukah gadis itu, jika Rio hancur karena gadis itu berniat meninggalkannya.. “ Asal lo tau Shilla. Dia hampir mati dihajar orang yang gak dikenal waktu mau nyusulin lo kemarin. Mungkin kalo dia bisa pergi dari bed kamar rumah sakit, dia udah kesini mohon-mohon ke lo”

Shilla lagi-lagi harus dibuat tersentak. Rio? Dirumah sakit?

“ Jangan nyesel kalo kabar terbaru yang lo denger tentang dia, dia mati bunuh diri karena lo mutusin dia dengan alasan yang sampe sekarang gue juga gak ngerti. You know Shilla, kalo gue tau orang yang dicintai sahabat gue ternyata Cuma mainin dia kayak gini, gue nyesel udah bantuin dia berjuang buat lo.”

“ Kak.. aku..” Perkataan Shilla berhenti, Ia tidak tau harus berkata apa-apa lagi. Semua ini membuatnya lelah, membuat serba salah hanya untuk melangkah. “ Maaf .” Ucapnya akhirnya.

“ Kalo maaf lo bisa balikin sahabat gue yang tanpa masalah jauh sebelum kenal lo. gue mungkin bisa terima. “ sahut Alvin kembali melunak. Ia sebenarnya mulai frustasi, Ia hampir kehilangan arah, karena cara terakhir yang Ia pikir akan berhasil tapi ternyata hasilnya sama sekali jauh dari harapan.

Hening sesaat, sampai Alvin mendesah panjang, “ Nih alamat Rumah sakit Rio dirawat, kalo lo berubah pikiran. “

Shilla menerimanya dalam diam, setelahnya tanpa berkata-kata apa lagi Alvin pergi dari tempat itu. Meninggalkan Shilla yang sama –sama tak memiliki arah sepertinya.

To be Continued.....