Shilla menyikat rambutnya tanpa semangat, tidak
seperti pagi-pagi biasanya. Pagi ini dia bercermin bukan untuk melihat apakah
pakaian seragam yang ia kenakan sudah rapi. Dia di skor bukan? Padahal tak
sampai 1 minggu lagi dia ujian.
Shilla mendesah. Tangan kirinya memegangi kantung
matanya yang membesar. Kejadian hari kemarin memang terasa sulit bagi Shilla. Ia
menangis hebat semalam ketika menceritakan semuanya pada bundanya. Syukurnya
bunda bisa mengerti dan menenangkannya untuk sementara. Karena tak lama dari itu, ketika Ia masuk ke
kamarnya, Ia menangis lagi.
Huh. Shilla menjatuhkan tubuhnya ringan di atas
kasur. Lalu seperti sadar akan sesuatu Ia meraih ponsel pemberian Rio. Ia
aktifkan dengan kelewat berharap. Meski pada saat itu juga harapannya langsung menjatuhkannya.
Ia berharap ada ucapan selamat pagi yang selalu Rio kirimkan tiap pagi untuknya.
Kenapa jadi berbeda? Dan setelah kejadian sore itu?
apa yang dikatakan Dea ada benarnya?
“Shill..”
Shilla terjingkat kaget, reflek langsung berdiri. Ia
mengembangkan senyum tipis. “ Iya bun..”
“ Ada yang nyari kamu tuh..”
Ina bisa
melihat binar harapan yang terbit di mata Shilla, dan sontak merasa tidak tega.
Tapi sebelum dia bisa menjelaskan lebih lanjut, Shilla sudah tergesa beranjak
dari ruangan itu.
“Pasti kak Rio ya bun?”
“Eh Shill.. “ cegah Ina. Tapi Shilla sudah terlanjur
berlari, menuju pintu depan, dengan binar harapan yang mencerahkan matanya.
Ina menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya
perlahan.
*
Dengan hati yang melambung penuh harap, Shilla
setengah berlari menuju pintu depan. Siapa lagi orang kurang kerjaan yang
mencariya pagi-pagi begini kalo bukan Rio.
“Ri..”
Sapaan tadi tergantung tanpa terselesaikan di
bibirnya saat Dia melihat sosok yang berdiri menunggunya.
“Eh…” kata Shilla
akhirnya, sambil menelan rasa pahit atas harapannya yang ternyata sekedar mimpi
belaka. Kenapa hari ini ‘harapan’ begitu jahat padanya.
***
Tanpa sadar Gabriel memegang taddy bear berukuran
sedang yang Ia bawa terlalu kuat. Tiba-tiba Dia jadi gelisah, ada yang
mengganjal. Dan Dia tidak perlu berfikir terlalu keras untuk hal mengganjal
itu. Ia tau, Ia sadar, yang Ia lakukan saat ini salah. Ah bahkan Ia tau sejak
awal Dia sudah salah. Ia mendesah, Dia hanya sedang berjuang untuk
kebahagiaannya. Apa salah?
Gabriel sudah berdiri di depan pintu dengan senyuman
paling menis ketika mendengar derap langkah terburu yang mendekat.
“Ri..”
Kening Gabriel berkerut.
“Eh..” gadis didepannya tampak salah tingkah dengan menggigiti
bawah bibirnya.
“Pagi Shilla..” ucapnya mencairkan suasana,
melupakan kejadian kecil yang berdampak besar di hatinya. Apa artinya? Ri? Rio?
MaRio? Lalu apa maksudnya? Gadis itu berharap yang mengunjungi pagi ini si Rio?
Lalu kenapa hatinya sangat tidak rela? Lagipula dia bukan siapa-siapa? juga
bahkan tidak bisa lagi jadi siapa-siapa untuk gadis ini. Bukannya ada gadis
lain yang sudah ia janjikan kebahagiaannya. Lalu bagaimana ini?
“kak Gabriel ada apa pagi-pagi kesini?” kata Shilla
akhirnya, membuat Gabriel harus menghentikan sementara usaha otaknya untuk menemukan
jawaban dari setiap pertanyaannya.
“Ini mau ngasih ini..” kata Gabriel tanpa basa-basi,
Ia ulurkan taddy bear kearah Shilla.
“ Tadinya mau kakak antar ke sekolah kamu, eh bukannya ketemu kamu malah dapat
kabar kamu di skor.”
Shilla tidak menyahut, Dia hanya membalas dengan
cengiran yang sedikit dipaksakan. Dia tidak terlalu bersemangat pagi ini.
“ Kok bisa?”
Ditanyai seperti itu, Shilla terlonjak kaget. Ia
tidak mungkin jujur kan? Jika Gabriel cukup berperan dalam alasan yang
menyebabkan perkelahian itu terjadi.
Gabriel tidak mengerti, kenapa Shilla tak langsung
menjawab pertanyaannya dan malah tampak berfikir keras seperti itu. Mungkin
gadis itu tidak ingin menceritakan alasannya, dan percayalah Gabriel bukan tipe
orang yang suka memaksa. Akhirnya Ia usap puncak kepala Shilla sambil
tersenyum.” gak papa kalo gak mau cerita.”
Shilla malah jadi tidak enak. “ Aku Cuma mau
coba-coba aja kok kak.. sekali-sekali kan. “ sahutnya, diakhiri dengan cengiran
seperti biasa.
“Coba-coba ya? Oke..” kata Gabriel lalu tertawa.
Shilla ikut tertawa, meski tak sepuas tawa Gabriel.
“Jadi gimana rasanya?”
Shilla terkekeh. “Emm.. biasa aja. Gak cukup asyik
untuk bikin ketagihan.”
Gabriel mengangguk-ngangguk. Lalu tiba-tiba mendapat
ide cemerlang, keinginannya untuk mendapatkan kebahagiaannya semakin menggila.
“ Well, gimana kalo kakak bikin coba-coba diskornya jadi gak terlalu ngebosenin.”
Shilla memiringkan kepala. “ Gimana?“
***
Rio merapatkan selimutnya, tubuhnya terasa begitu
menyakitkan begitu Ia membuka mata pagi ini. Sekujur tubuhnya ngilu dan sudah
dibanjiri keringat dingin.
Rio mendesah. Lalu dengan susah payah Ia menghampiri
pintu kamar, membuat pintu itu agar tidak lagi terkunci dari dalam. Ia khawatir
akan terjadi hal yang buruk pada dirinya, dan akan sangat naas jika tidak ada
satu pun orang yang bisa menolongnya.
Setelah tubuhnya kembali berbaring nyaman di bed kingsize nya , Rio menghela nafas lega.
Semalaman Dia terus berfikir keras mencari jalan
keluar dari masalah ini, Ia tidak tau dampaknya akan seperti ini. Mungkin di
tambah Dia tidak makan dari kemarin siang, Dia bosan memakan makanan dari
lemari pendingin dikamarnya.
“Rio gue nih. Masuk yaa. “
Rio mengangguk, meski Ia tau orang yang berucap tadi
tidak bisa melihatnya.
“Kamu kenapa?” Tanya seorang gadis yang jika Rio
tidak salah liat saat ini menggunakan dress biru yang terlalu mini. Panjang
Dress itu hanya sampai pertengahan paha, dan sepertinya juga terlalu ketat
untuk tubuh gadis itu yang kurus.
Jika saja dia tidak sedang drop begini, mungkin akan
habis gadis itu Ia omeli. Rio berdehem sekali. “Kunci lagi pintunya fy..”
ucapnya serak dan berat.
Ify menurut, berbalik kearah pintu untuk menguncinya
lagi.
“Kamu sakit?” tanya Ify lagi, ia mendekati Rio. Mengulurkan
tangan untuk bisa menyentuh dahi pemuda itu. “Demam nih kamu, Aku panggilin
dokter ya?”
“No!” Sahut Rio cepat. Ia mengambil nafas berat.
“Ambilin obat gue aja di laci. “ Lanjut Rio, tangannya menunjuk meja panjang di
sisi kanan kamarnya.
Meski dalam hati Ify tidak menyetujui ide Rio, Ia
hanya menurut. Ia menghampiri meja panjang yang atasnya berjejer pigura photo berbagai
ukuran. Ify tersenyum melihat salah satu photo di pigura itu, photo dirinya dan
Rio ketika di ulangtahunnya yang ke 11, dan boneka besar yang besarnya melebihi
dirinya yang berada diantara mereka berdua itu hadiah dari Rio untuknya. Lucu..
manis.
Setelah puas menatap senang photo itu, Ify membuka
laci teratas meja itu. Ia langsung dibuat tercengang. Ada banyak sekali obat
disana. Ini tidak mungkin persediaan, pikirnya marah. Ia ambil sebanyak mungkin
yang Ia bisa. Ia bawa ke Rio dengan amarah yang siap meledak.
“Obat mana maksud kamu?” Di tumpahkannya obat-obat
yang Ia bawa sengaja di atas selimut yang menyelimuti Rio.
Dengan susah payah Rio melirik sesuatu yang
menjatuhi tubuhnya pelan, Ia menghela nafas berat. Ia sadar, Ia sudah
membongkar rahasianya sendiri.
“ Kamu gak pernah minum obat kamu?” tanya Ify lagi.
“ Kamu gak mau sembuh?” Ify semakin menggila. Iya, dia marah. “ Kamu seneng
liat aku khawatir terus tiap sakit kamu kambuh? ”
“Maaf.” Ucap Rio begitu lirih, nyaris tidak
bersuara. Tubuhnya semakin lemah hingga rasanya seperti mau mati.
Air mata Ify menetes. Ia memalingkan wajah, Ia tidak
suka melihat Rio dengan wajah pucat, Ia tidak suka melihat Rio yang terlihat
lemah. Seperti sekarang.
“ Aku panggil dokter. “ kata Ify tegas, Ia langsung
pergi. Dia tidak ingin luluh, jika nanti Rio memohonnya untuk tidak melakukan
hal ini.
***
Shilla merentangkan kedua tangan untuk meregangkan ototnya
yang terasa kaku, sambil dalam-dalam menghirup udara segar khas pedesaan. Shilla
tidak tau tepatnya dimana sekarang dia berada. Yang Ia tau hampir 3 jam waktu
yang diperlukan untuk sampai ketempat ini.
“ Yuk.. “ Dengan cepat Dia mengangguk, memberi
senyum. Lalu menyambut uluran tangan pemuda yang telah membawanya kesini. Kak Gabriel.
Dengan masih tersenyum, Shilla mengamati dengan
sungguh-sungguh punggung pemuda jangkung yang menggiring langkahnya didepannya.
Tak ada lagi kecanggungan yang menyelimuti keduanya. Euphoria hangat yang dulu Shilla
rasakan, kini kembali. Bahkan rasanya lebih meledak. Disertai desiran halus
dari sekujur tubuhnya. Menggelitiknya untuk selalu behagia. Bahagia? Apakah
pantas? Disaat ada pemuda lain yang secara resmi memiliknya.
Entahlah, apa ini maksudnya. Tapi bagi Shilla pemuda
ini hadir disaat yang tidak tepat. Disaat dia mulai ragu untuk melanjutkan
cintanya pada pemuda lain itu.
Duk. “Aduh.. “ ucap Shilla, sambil mengelus dahinya.
Ia menubruk punggung Gabriel yang berhenti dengan tiba-tiba didepannya.
“Sudah sampai..” Gabriel berucap sumringah.
Shilla mengerjap beberapa kali. Dia benar-benar
tukang melamun yang handal, hingga tidak sadar sudah berada di tempat yang..
woow.. seindah ini.
“Keren banget.” Mata Shilla berbinar cerah. Ia
sampai tidak berkedip melihatnya, seperti tidak ingin melewati tiap inchi
keindahan tempat ini.
Saat ini dia berada di tengah sawah yang membentang
luas dan sedang menghijau. Seakan tidak cukup indah, tidak jauh darinya ada
sungai kecil yang membuat suasana semakin nampak asri dan nyaman.
“ Aku mau main disungai.” Teriak Shilla semangat.
Tangannya mencari-cari tangan Gabriel untuk ditarik ikut bersamanya.
*
Dengan begitu bahagia, Shilla sudah duduk di salah
batu besar ditengah sungai, kakinya dicelupkan ke dalam sungai yang dalamnya
hanya sebatas lutut.
Gabriel ikut bahagia. Hanya dengan melihat Shilla
tersenyum bahagia, Sederhana bukan kebahagiannya, jadi tidak apa-apa kan dia
melakukan ini? eh.. apa benar-benar tidak apa-apa?..
Gabriel mengerjap, ada cipratan air yang membuatnya
hampir basah kuyup. Gabriel melihat kearah Shilla lagi, dia langsung ikut
tertawa begitu melihat Shilla tengah terbahak.
“ Jahil kamu..” seru Gabriel.
“ Abis malah melamun.. gak tertarik dengan beningnya
sungai nih..” jawab Shilla lucu.
“ Tertarik sih, tapi lebih tertarik sama kamu tuh.”
“ Eh? “ Shilla reflek menundukkan kepala, dia tau
jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tapi Ia juga tau, ini tidak
seharusnya terjadi.
Shilla terjingkat. Entah kapan Gabriel melepas
sepatunya? Lalu datang menghampirinya, dan kini tangan kanannya merangkul bahunya?
Gabriel mendesah. “ Maafin kakak. “ katanya. Ia
tatap lembut mata bulat Shilla yang sedang menatapnya penuh kebingungan.
“ Ma.af apa?” kata Shilla, suaranya mulai terdengar
gugup. Ia rasa, jaraknya dengan Gabriel terlalu dekat.
“ Sebelumnya, Kamu harus percaya Shill. Kakak sudah
berusaha ngelupain kamu. Tapi sekarang ini.. Menjelaskan..... “ kata Gabriel.
Ia diam sebentar, Memperdalam tatapannya ke mata Shilla yang nampak bersinar
pagi itu.
Gabriel mendesah lagi. “ Kakak sudah gagal. Kakak
masih mencintai kamu.”
Shilla ternganga. Jantungnya berdetak sangat cepat.
Membuatnya reflek menyentuh sampai meremas dadanya. Berusaha meredam detak
tidak wajar itu. Karena, adanya detak itu membuatnya sadar, cintanya tengah
diuji. Bahkan dia belum tau kabar seseorang yang ia pilih untuk Ia cintai, dan
apa yang sedang ia lakukan saat ini? Apa sebuah pengkhianatan? Karena hatinya
berdetak tidak wajar untuk pemuda lain.
Astaga. Shilla mengerjap beberapa kali, untuk
kembali menghadapi kenyataan. “ Maafin aku kak. Yang sekarang ini harusnya gak
pernah terjadi. Maafin aku, atas adanya harapan palsu yang aku lakuin.. “
“ Apa benar-benar tidak ada lagi kesempatan?” Gabriel
seperti bertanya pada dirinya sendiri, dan Ia tau jawabannya. Tidak akan ada
lagi kesempatan. Tidak akan ada.
Shilla membalas tatapan Gabriel, dengan keyakinan. “
Aku udah milih kak. Aku cinta Rio, dan aku gak tau sudah seberapa dalam. Yang
aku tau, aku rindu kehangatan Rio. Saat ada kak Gabriel yang lagi ngasih aku
kehangatan.”
Gabriel tersenyum, sudah sepantasnya jawaban itu
yang Shilla lontarkan. Untuk sekaligus membuatnya sadar. Ia tak bisa lagi
melanjutkan kegilaan ini.
Gabriel tersadar. Saat tangan Shilla menepuk pelan
pundaknya. “ Ayok pulang, aku baru inget aku ada janji belajar bareng sama
agni. “ kata Shilla, sebisa mungkin memberi senyuman tulus diakhir kalimatnya.
Gabriel
membalas senyum itu, lalu hanya mengangguk. Tidak peduli dengan kecurigaannya
dengan alasan Shilla yang sepertinya bohong. Ia hanya sedang sibuk mengatur
hatinya agar selaras dengan pikirannya.
***
Rio harus mengerjapkan mata beberapa kali untuk
dapat dengan jelas melihat seseorang yang duduk di sisi kanan ranjangnya,
sambil menggenggam tangannya.
Ia menarik tangannya dengan gelisah. Ia tidak
terbiasa dengan sentuhan itu.
Dan hal itu membuat seseorang yang menggenggam
tangan Rio sadar, Anaknya sudah sadar. “ Rio kamu sudah sadar?”
“Hmm..” jawab Rio sekenanya. Lalu memalingkan wajah,
melihat ada Alvin juga ada diruangan itu, ia memberi senyum singkat untuk Alvin.
“ Syukurlah. Apa ada yang masih terasa sakit.”
Rio menggeleng, “ Aku.. sudah baik-baik saja.”
Manda mendesah pelan, merasakan kecanggungan yang
semakin membuat tidak nyaman. Ia tersenyum kaku, “ Baiklah, kalo begitu Mama
sudah bisa tenang untuk meninggalkan ruangan ini. “ katanya. Lalu segera
melangkah pergi.
Begitu manda hilang dibalik pintu kamar Rio, Alvin
segera menghampiri Rio. “ Lo beneran udah gak papa Io?” tanyanya khawatir.
Rio tertawa pelan. “ Lo tanya gitu? beneran udah
kayak patner homo gue aja vin.”
Alvin mendorong bahu Rio pelan. “ Lagi sakit masih
gesrek aja lo..”
Lalu diam, sampai akhirnya Alvin mendesah keras. “
Gue jadi ngerasa gak pantes jadi temen lo. Gak dapet kabar lo 2 hari ini, dapet-dapet
kabar lo udah hampir mati gitu. “
Rio tertawa lagi, “ Dapet kabar dari siapa lo?”
“ Dari Ify lah, siapa lagi? ..”
“ohiya.. tu anak kemana sekarang? yang gue inget
terakhir sih dia ngomelin gue disini.”
“ Gaktau tuh, ada acara mendadak gitu katanya, makanya
dia ngehubungi gue buat kesini. Padahal itu modusan dia aja buat manfaatin gue
untuk selalu ngabarin dia setiap detik tentang keadaan lo.”
Rio hanya tertawa pelan. Dia belum terlalu pulih
untuk terbahak.
“ Tapi nih yaa, gue mau tanya. Lo beneran lagi
dihukum gak boleh keluar dari kamar lo?”
Rio diam dari tawanya, lalu mengangkat kedua bahunya
tak acuh.
Alvin mengerutkan dahi. “ Sampai kapan?”
Rio mengangkat kedua bahunya lagi. “ Sampai mati
kali. “ jawabnya.
Alvin tersentak, “ Busyet dah. Ngeri banget jawaban
lo io..”
“Shilla apa kabar ya vin?”
Alvin mendesah lagi. Masih sakit juga, bisa-bisanya
malah nanyain kabarnya orang. “ Urus dulu tuh kabar lo, baru Urus kabarnya Shilla!”
kata Alvin galak.
“ Ntar kalo lo ketemu sama dia bilangin ya vin, gue
kangen banget gitu sama dia. bilangin Rio lagi berjuang untuk cinta Rio dan Shilla
selamanya berjaya.”
Alvin geleng-geleng kepala, sambil nyengir. “ Gresek
bener ni bocah.”
Rio menatap Alvin serius. “ Gue seriusan kok. “
katanya, sebenarnya
Hal itu membuat Alvin harus berfikir keras. “ Jangan
bilang lo di kurung gara-gara hubungan lo dengan Shilla ketauan bokap lo? dan
gak di setujui? ”
Rio diam, menggulingkan badannya membelangkangi Alvin.
“ Sayangnya dugaan lo bener vin.”
Alvin langsung ternganga. Ini terlalu drama. Dan
sulit untuknya percaya, bahwa ini benar-benar terjadi. Astaga! Malang sekali
nasib sahabatnya.
***
“Tok.. Tok.. Tok..”
Ify mematung. Sebenarnya, Ia sudah berharap suara
ketukan palu itu tidak akan Ia dengar. Karena kenyataannya ketukan palu itu
yang akan membawaanya ke kenyataan pahit yang akan membuat hidupnya semakin
kelam. Orangtuanya sudah resmi .. bercerai.
“ Ify.. “ Ify mendongak, menatap kosong seseorang
yang memanggilnya dengan suara bergetar. Bahkan dia masih linglung dan tak
melakukan apa-apa saat wanita setengah baya yang memanggilnya tadi memeluknya
dengan kaku. “Mama akan merindukanmu..” katanya lagi, terdengar serak dan
pelan.
Pelukan canggung itu tidak bertahan lebih lama,
tidak sampai 10 detik. Setelahnya, tanpa mengatakan apa-apa lagi Sarah
melangkah pergi. Meninggalkan Ify yang masih belum percaya dan tidak ingin
percaya ini benar-benar terjadi.
Dan saat ada yang menarik tubuhnya, lalu
menenggelamkan tubuh mungilnya kedalam pelukan yang lebih hangat. Tangis Ify
akhirnya pecah. Membuat seseorang itu semakin mengeratkan pelukannya. “Maafin
papa fy. Maafin papa..”
To be
continued..