Dan.. yang
sebenarnya, akan baru dimulai
Saat tidak hanya
diri sendiri menjadi alasan
Ada orang lain
yang dengan sengaja menjadikan diri alasan
Pagi ini cerah, tapi sepertinya tidak dengan
perasaan Shilla. Ia terlihat gelisah dengan berulang kali melirik jam tangan
merah muda yang selalu ia pakai kemana-mana. Sudah hampir jam 7. Dan si pemuda
yang sudah 1 minggu ini selalu muncul di depan pintu rumahnya, menampilkan
senyum menyebalkan setiap ia membuka pintunya. Lalu akan mengantarnya tidak
hanya sampai gerbang atau halaman parkir sekolahnya, tapi akan mengantarnya
hingga ia duduk manis di bangku kelasnya. Astaga! Kamu Kemana Rio?
“Shilla... belum berangkat?”
Meski sedikit terkejut dengan kehadiran bundanya, Shilla
menggeleng, akan membuka mulutnya tapi diurungkan. Tiba-tiba ragu untuk berkata
“kak Rio belum jemput” karena pada
kenyataannya tidak ada peraturan yang mewajibkan Rio untuk menjemputnya?
Seperti mengerti apa yang dipikirkan putrinya, Ina
mendekati Shilla. “ Mungkin kak Rio lagi sibuk shill. Jadi gak sempet jemput
kamu. Berangkat sanaa. Nanti telat.”
Shilla hanya mengangguk, mencium tangan ibunya lalu
memilih mengikuti dan mencoba mempercayai yang dikatakan ibunya. Ia akan
menunggu bus di halte yang berada di ujung gang rumahnya.
***
Gabriel menyipitkan matanya, lalu setelahnya membelalakkan
mata. Dari sekian banyak kebetulan kenapa harus kebetulan yang seperti ini yang
ia alami.
Entah sejak kapan, pegangan tangannya pada stir
mobil menguat. Dia pun merasa tetes demi tetes keringat mulai melewati
pelipisnya. Setelah semuanya terjadi apa yang sebaiknya dia lakukan untuk menghadapi
kejadian yang seperti ini.
Gabriel tau, semakin lama ia berfikir semakin
mempersempit jarak dengan sesorang yang ia lihat sedang berjalan kaki
membelakanginya. Oh ayolah gab, apa yang kamu pusingkan? Kamu bukan lagi anak
kecil.
Ciiitt. Gabriel menginjak rem mobilnya, membuat
mobil teRios silver itu berhenti agak mendadak. Tepat disamping si pejalan kaki
itu.
Setelah jendela kaca mobilnya terbuka, ia bisa
melihat ekspresi terkejut yang diam-diam ia rindukan. Gabriel mengembangkan
senyum, “Selamat pagi.. “ begitu sapanya.
Seseorang itu melongok bingung. Lalu terlihat
menelan ludah satu kali.
Membuat Gabriel kembali tersenyum, kali ini karena
geli melihat tingkah orang itu. “Mau sekolah kan? Bareng kakak yuuk. .”
“ha?”
“ayuukk. Entar keburu telat lho..”
“ eh..” dengan gelisah orang itu melirik jam tangan
merah muda yang dikenakan.
Gabriel tersenyum sendiri, menggelengkan kepala. Ia
keluar dari mobil, menghampiri gadis berkuncir 2 yang masih berdiri di samping
mobilnya. Ia bukakan pintu penumpang, mendorong pelan gadis itu. “ Jangan
kelamaan mikirnya shill.. atau kamu bakal bener-bener telat.”
Shilla mengangguk sekali. mengikuti perintah Gabriel.
Dan kini dia sudah duduk di bangku penumpang.
*
“kakak.. apa kabar?”
Dengan satu kalimat itu, Gabriel menegang. Suara itu
masih sama, masih terdengar lembut, membuatnya tenang.
Tidak mendapati jawaban, Shilla menggigiti bawah
bibirnya. Kembali merasa canggung. Ia berdehem sekali, akan kembali mencoba. “Darimana
kak? kok ada disekitar sini?”
Gabriel mengembangkan senyum, mengulurkan tangannya
untuk mengusap gemas puncak kepala Shilla. “ masih bawel ajaa..”
Shilla merengut, meski setelahnya ia ikut tersenyum.
senyum yang tak berkurang keindahannya sedikit pun.
Dan.. Gabriel melihatnya, senyum yang begitu tulus
dan pipi bersemu yang selalu menyertai setiap kali senyum itu muncul. Gabriel
menghela nafas, dia tau, dia sudah kalah dengan cintanya.
***
Suara ruangan itu begitu hening, hanya terdengar
suara desahan nafas yang semakin berat si pemilik ruangan. suasana hati pemilik
ruangan itu sedang sangat buruk, ini hari keduanya di kurung di kamarnya
sendiri. Baru hari kedua tapi rasanya sudah sangat lama.
Ia tendang kursi putih yang selama ini ia gunakan
ketika belajar, lalu seperti belum cukup emosinya tersalurkan guci besar di
salah satu sudut kamarnya menjadi sasaran. Ia tendang guci itu hingga hancur,
seperti dirinya. IYA. Dia memang sedang hancur berkeping-keping.
“MaRio! Apa yang terjadi? Apa yang kamu lakukan?
Buka pintunya nak!!”
Rio mendengus, dia bersyukur mengunci pintunya dari
dalam. Biar sekalian puas orang yang sudah mengurungnya. Lalu tanpa
menghiraukan teriakkan khawatir itu, Rio beringsut ke bed kingsize miliknya.
Dengan posisi tengkurap ia menutupi kepalanya dengan bantal, sebagai bentuk
usaha agar tak mendengar teriakkan apapun dari siapapun. Ia memilih untuk
kembali tidur.
**
“... ini tetap saja keterlaluan Zeth, pikirkan lagi
hukumanmu untuk Rio, lagipula kamu belum mendengar penjelasan darinya.”
Zeth tak bergeming. Setelah cukup lama diam, ia
menoleh, menatap Manda –istrinya-. “ untuk apa? jika saya sudah tau
kebenarannya? Lagipula belum tentu dia menjelaskan kebenaran.”
Manda menghela nafas berat, dia nekat memprotes
suaminya yang selama ini ia turuti kemauannya. Kekhawatirannya memuncak begitu
mendengar kegaduhan dari kamar Rio pagi tadi. Ditambah pintu kamar anaknya itu
kini tak bisa dibuka dari luar.
Setelah beberapa menit hanya diam, Manda memandangi Zeth
penuh permohonan. “ Untuk mengetahui alasan dia melakukan sesuatu yang bisa
kamu ketahui itu Zeth. Alasan yang dari dirinya, yang ada dihatinya? Apa kamu
tidak ingin tau? Apa kamu juga bisa tau dengan sendirinya. “
Manda diam sebentar. Memejamkan mata, dan airmatanya
luruh. “ jika iya. Beritahu aku. Aku juga ingin tau apa sebenarnya diinginkan
anakku. Karena aku tidak tau.. dan aku sangat ingin tau.“
Zeth menatap istrinya dengan bersungguh-sungguh. Ia
mengalihkan pandangan, tidak ingin luluh dengan airmata itu. karena keyakInan
yang ia lakukan adalah yang sebaiknya. “ Sudah jelas dia hanya bermain-main.
sudahlah Manda, keputusan saya sudah bulat. Tidak ada yang bisa merubahnya
hingga dia mengakui kesalahannya.”
Zeth lalu pergi. Karena dia tidak yakin keyakInan
itu akan bertahan lebih lama lagi. Dia mengaku, dia menghindar.
***
“.. jadi apa yang sebenernya terjadi? Kok bisa lo ke
sekolah dianter kak Gabriel? Kemana kak Rio lo? dan kenapa lo keliatan mikir
mulu dari tadi? Kenapa?”
“huh..” Shilla mendengus dan menekan kepalanya
dibawah lengan. “Gue juga gak tau ag?”
Agni berfikir sejenak.” Kok bisa? Gak tau gimana? ”
Shilla mengangkat kepalanya, meniup frustasi poninya
sekali. “kok tiba-tiba gue kangen Cakka ya.” Shilla langsung berdiri. “ Nyamperin
Cakka yuk ag.. “ ajaknya.
Agni memicingkan mata. Ia mencekal tangan Shilla. “
Kali ini lo gak bisa kabur. Lo harus cerita. Atau persahabatan kita cukup
nyampe disini. Buruan cerita!” Agni menghentakan tangan Shilla, melipat kedua
tangannya di depan dada sambil merengut hebat.
Huh. Shilla ikutan merengut. Jika Agni sudah
mengancam dengan membawa-bawa
persahabatan seperti ini, Shilla memilih mengalah. Ia duduk lagi di
tempatnya.
Shilla menceritakan kejadian yang di mulai siang
kemarin ketika dia sedang belajar bersama Rio di cafe depan sekolah, lalu para
bodyguard Rio yang tiba-tiba datang dan memaksa Rio untuk pulang, dan
setelahnya Rio hilang kabar sampai pagi tadi. Bahkan pemuda itu juga tidak
datang menjemputnya seperti biasa, jadi akhirnya dirinya memutuskan untuk
berangkat dengan bus, dan ketika dalam perjalanan menuju halte bus, entah
darimana datangnya Gabriel datang bak malaikat yang menawarkan diri untuk
mengantarnya.
“.. oh gitu ceritanya..” Shilla dan Agni terjingkat.
Mereka yakin suara cempreng nan centil yang menyerobot di sela percakapan itu
bukan berasal dari salah satu mereka.
“ eh busyet Dea! Nguping ye lo! “
“ ih apaan sih Agni.. su’uzon deh! Gue gak sengaja
denger kali.. makanya kalo curhat kalo gak mau di denger orang lain di sono noh
di WC berduaan.”
Shilla yang emosinya sedang tidak stabil, berdiri,
menggebrak meja. “udah deh de, itumah akal-akalan lo aja. Bilang aja lo nguping
buat lo sebar ke seluruh penjuru dunia. Dasar biang gossip lo..”
Dea melengos jahat.” Elah, shill, korban di
campakkan aja belagu lo.”
Shilla nampak berfikir sebentar.”Maksud lo?”
tanyanya tak mengerti.
Dea tertawa sinis. Melipat tangan di depan dada. “ Pura-pura
gak ngerti lagi lo?”
Shilla tidak menyahut. Perdebatan Ini hampir tidak
penting. Meski diam-diam dia penasaran dengan apa yang sebenarnya dimaksud Dea.
Dea melengos. “ Gak ngerti juga lo? jadi begini ya
tuan putri aShilla, lo kan yang bilang sendiri si maRio lo itu hilang kabar
setelah di jemput para bodyguardnya. Well, itu udah jelaslah, itu suruhan
keluarganya yang nganggep lo orang kumuh bin miskin gak akan pernah Pantes
bersanding dengan pengaran mereka...”
“Eh ati-ati tuh mulut ya kalo bacot!!” Agni sudah
menghantam Dea dengan pukulannya, jika Shilla tak menariknya untuk mundur.
“ Gue ngomong kenyataan kaliii.. cocokkan juga gue
kali ya, meski gak sekaya Rio, seenggaknya gue gak miskin kayak lo”
Shilla tidak tahan, ia maju selangkah.
PLAK! Dea langsung diam, mengelus pipinya yang di
tampar dengan begitu keras. “ Kurang ajar lo..” teriak Dea emosi.
Dea mendorong tubuh Shilla, hingga Shilla
terjengkang jatuh.
Shilla tau sekujur punggungnya terasa sakit karena
menabrak meja saat Dea mendorongnya. Tapi semua rasa sakit itu belum ada
apa-apanya dibanding sakit di hatinya. Karena diam-diam dia memikirkan
perkataan Dea, dan sangat sakit membayangkan jika apa yang dikatakan Dea adalah
benar. Dia menangis. Dan dia sadar cintanya untuk Rio sudah begitu dalam.
Dan perkelahian itu berlanjut. Antara Dea dan Agni.
***
“... kok bisa sih ag?” Cakka mondar-mandir di depan Agni
yang sedang duduk sambil melihat lebam dipipinya melalui cermin kecil yang
selalu ia bawa.
“ Ya bisa.” Jawab Agni tak acuh.
“ Lo kapan tobat sih?”
“ Tauk! Gak bisa tobat kali.”
“ Ag!” Cakka merampas cermin yang dipegangi Agni,
membuat Agni langsung menlihat kearahnya.” Serius dulu dong. Lo gak bisa gini
terus.”
Agni mendesah, menyandarkan tubuhnya di bangku taman
sekolahnya. Begitu keluar dari ruang BK, Cakka langsung menyeretnya hingga ke tempat
ini. “ Ya terus gue mesti gimana?”
Cakka mendengus. “ Ya gimana kek? di rubah jadi
lebih baik gitu?”
Agni berdecak.” Apanya yang dirubah jadi lebih baik?
Teknik berkelahinya gue?”
“Ag!” tegur Cakka.
Agni malah tertawa.
Membuat Cakka semakin kesal.“Terserah deh ag! Lo
emang gak bisa ya di omongin! Sekarang terserah lo mau jadi preman kek! Mau
jadi brandalan kek! TERSERAH!”
Tiba-tiba tubuh Agni menegang. Terserah? “ Yaudah,
berarti masalah beres kan?” sahutnya datar.
“IYA beres! Kalo lo gak bawa-bawa Shilla!”
Agni tau, hatinya mulai mendeteksi akan adanya
pesakitan.
“ Lo tau sendiri kan ag? Shilla gak pernah bikin
masalah nyampe dihukum begini? Dan sekarang lo malah bikin Shilla di skor bareng
lo! Kasihan Shilla ag! Gimana kalo dia dimarahin bundanya?”
Air mata Agni sudah siap tumpah, karena sakit
dihatinya ini tidak ada tandingannya.
“Iya. gue Cuma bisa bikin onar, bikin sahabatnya di
hukum. Gue.. bukan siapa-siapa.”
Ada yang tidak beres. Memang Agni mengatakannya
dengan menunduk, Tapi Cakka bisa tau suara Agni bergetar, tubuh mungilnya
berguncang. Agni menangis. Kenapa?
“Ag?” panggilnya lebih lembut.
Agni menepis tangan Cakka yang akan menarik
tangannya. Dia mendongak, menatap tajam mata Cakka, dengan matanya yang penuh
dengan air mata. “ jadi Cukup kka! Lo juga bukan siapa-siapa untuk repot-repot ngurusin
hidup gue!”
Agni pergi, meninggalkan sejuta tanya. Membawa
bersayat-sayat luka dihatinya.
***
Shilla sudah siap menyegat Agni yang berlari
kearahnya, sebelum tau bahwa Agni sedang berlari sambil menangis. Shilla
mematung, tiba-tiba kaku untuk berteriak menyebut nama Agni untuk membuatnya
berhenti. Ia biarkan Agni melewatinya begitu saja.
Setelahnya, “.. Ag, berhenti ag..” teriak Cakka,
terlihat panik mengikuti Agni.
Dan Shilla baru sadar, ada yang sedang tidak beres.
Dia memutuskan untuk mengikuti dua orang sahabatnya itu berlari.
Shilla bisa menangkap kejadian demi kejadian, saat Cakka
menghampiri Agni yang sudah masuk ke mobil yang menjemputnya. Lalu tak berapa
lama, mobil Agni pergi.
*
Cakka mengusap rambutnya, terlihat prustasi. Hampir
10 tahun Cakka berteman dengan Agni. Dan percayalah, ini pertama kalinya dia
melihat Agni menangis. Dan itu membuat hatinya tak tenang, ia tidak suka.
“Cakk..”
Cakka mendongak cepat, lalu mematung untuk beberapa
saat. “Shil-la...”
Shilla menarik tangan Cakka.” Cerita di basecamp
deh. “ ajaknya, Shilla hanya tidak ingin kejadian pagi tadi terulang. Dia hanya
sedang belajar dari pengalaman.
*
“.. Lo keterlaluan cakk, lo tau apa? gak harusnya lo
bilang gitu ke Agni sebelum tau ceritanya!”
Cakka menghela nafas, dia sudah tau, Shilla pasti
akan ikut memarahinya, menyalahkannya. Apa ini memang sepenuhnya salahnya?
Lagipula sampai sekarang dia juga tidak tahu kenapa Agni bisa semarah itu...
hingga menangis. “ Gue cuma mau Agni jadi lebih baik aja. Gue gak ada maksud
lain/ “
Shilla menajamkan matanya, masih tidak terima dengan
alasan Cakka. Emosinya langsung meledak begitu Cakka menyelesaikan ceritanya. “
Ya tapi gak gitu cara nya cakk. Lo gak bisa nyalahin Agni. Ini sama sekali
bukan salah Agni. Lo kekanak-kanakan tau gak cakk, lagian gue gak pernah kan
nyuruh lo buat ngomong gitu ke Agni..”
“ Gue cuma peduli sama lo !”
“Ya iya. Memang lo gak peduli sama Agni? Peduli juga
kan? Kita kan sahabatan udah lama, ya memang harus saling peduli.. ”
“ Iya. “ potong cakka. Mungkin sekarang waktunya,
pikirnya.” Gue memang peduli sama lo dan
Agni. Tapi Gue cinta sama lo dan gue gak cinta sama Agni.”
Shilla ingin menyahut untuk meminta penjelasan, tapi
lidahnya kelu. Hatinya mulai sakit karena terpaksa harus mengerti maksud dari
semua ini. Persahabatan antara perempuan dan laki-laki tidak bisa selamanya
akan jadi sahabat. Dulu Shilla berkoar-koar yakin akan mematahkan statmen itu,
tapi ternyata salah satu pelakon persahabatan ini kalah. Cakka sudah terlanjur
mencintainya.
“shil-la.. aku minta ma-af. Tapi aku bener-bener
cinta kamu, udah dari dulu.”
Cakka maju beberapa langkah menghampiri Shilla,
tangannya terulur bermaksud mengangkat wajah Shilla yang menunduk.
Shilla yang menyadarinya, langsung mundur. Ia
memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya, menatap langsung mata Cakka yang Shilla
akui memiliki keteduhan yang menenangkan-tapi tidak untuk kali ini-. Entah
kenapa, emosinya kembali meledak, perasaannya kali ini mungkin sama sakitnya
dengan dikhianati sahabat sendiri.
Shilla mengangkat sebelah tangan dan melayangkan
tamparan keras pada pipi kanan Cakka. “gue kecewa sama lo..”
Shilla langsung pergi dengan berlari. Ia tidak
pernah menyangka semua ini benar-benar terjadi. Setelah kehilangan Rio, ia
kehilangan Cakka. Ia tidak pernah mengharapkan semua ini, memimpikannya saja
tidak.
To Be Continued....