Jika cinta ini begitu
menyiksa, Ia menyesal karena terlena untuk menerimanya.
Jika cinta ini harus
diminta untuk pergi, Ia menyesal telah membiarkannya datang.
Shilla
masih duduk bersila di tempat tidurnya. Memeluk erat-erat boneka beruangnya.
Tanpa sadar, dia menggigit bibirnya sendiri, menahan sakit dihatinya yang siap
membuat tangisnya kembali pecah. Ternyata rasanya lebih sakit dari yang Ia
pikir.
Kenapa
hati harus terluka dikala ada bunga cinta yang sedang bermekaran?
Shilla
menarik nafas panjang. Terasa berat. Bahkan dadanya terasa masih sesak saat dia
menghela nafas. Diraihnya ponselnya dengan tangan kanan. Untuk beberapa saat,
Shilla hanya menatap layar ponsel itu, masih dicekam keraguan.
Akhirnya,
Shilla memantapkan hatinya. Dia tahu, rencana itu mungkin absurd. Tidak masuk
akal. Tapi bagaimanapun juga, dia butuh seseorang untuk bersandar, berbagi
keluh kesah.
Ditekannya
sejumlah tombol di ponsel itu hingga dia menemukan sebuah nama yang dia cari.
Keraguan kembali menyelimutinya. Shilla menyandarkan tubuhnya dengan mata
terpejam. Berusaha menenangkan diri. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa inilah
langkah yang harus dia lakukan. Meskipun ini bukanlah yang dia inginkan.
Akhirnya
setelah beberapa tarikan nafas, Shilla membuka matanya. Memainkan kembali
jarinya di ponsel. Mengirim pesan pendek. Karena Shilla sadar, mungkin dia
tidak akan sanggup berbicara langsung.
“
Kak.. apa bisa kita bertemu? Dan kalo boleh.. aku pinjam bahumu untuk sekedar
bersandar.”
Begitu
melihat laporan bahwa pesan tadi sudah terkirim, Shilla meletakkan ponsel itu
di hadapannya.
Sambil
menunggu balasan Gabriel, Shilla termangu. Dalam hati dia bisa membayangkan
ekspresi wajah Gabriel, Mungkin dia akan mengerutkan kening. Atau mungkin, Gabriel
hanya akan mengangkat alisnya dengan heran.
Shilla
kembali mendesah entah untuk yang keberapa kalinya. Ia akan sekalian berpamitan
dengan gabriel. Pikirnya.
Setelah
cukup lama, Ponsel Shilla bergetar singkat.
“
Temui aku di Pandan Cafe, jam 10.”
Shilla
menautkan kedua alisnya, merasa asing dengan balasan itu, ini terlalu to the
point untuk seorang gabriel. Ah entahlah, dia sudah terlalu lelah untuk sekedar
memikirkan keganjilan ini.
Shilla
tidak membalas lagi pesan itu, melirik jam tangannya. Melihat jam tangannya sudah
menunjukkan pukul 08.30, shilla segera berdiri. Bermaksud untuk bersiap-siap,
akan sangat menyebalkan jika dia meminta tolong dan dia terlambat.
Shilla
menatap
hampa ke arah bayangannya yang balik menatapnya. Ada lingkaran hitam di bawah
kedua matanya yang nampak sayu. Ia amati lekat-lekat dirinya yang kurus dalam
balutan baju rumahan yang terlampau sederhana. Ia bukan apa-apa.
“ Pergilah sejauh mungkin... sampai mario
tidak bisa menemukannya.”
Shilla
memalingkan wajah, menghapus air mata yang kembali menetes seperti tidak ada
habisnya setelah mengalir semalaman.
Tangisnya
kembali pecah. Seolah-olah seperti airmatanya, sakit dihatinya pun tidak ada
habisnya.
***
Pricilla
membalik lembaran berikutnya buku yang sedang Ia baca, berpura-pura
berkonsentrasi dengan buku yang Akhir-akhir ini sering Ia bawa kemana-mana.
Alih-alih
bisa menyerap pengetahuan sistem reproduksi wanita yang Ia baca dari buku itu,
Pricilla lebih tertarik melirik berkali-kali pemuda didepannya yang nampak
tidak nyaman... nampak gelisah.
Dengan
sedikit kasar Ia menutup buku tebal itu. membuat pemuda itu sedikit terlonjak
lalu menatapnya.
“
Kenapa?” Tanya Pricilla tanpa berbasa-basi.
“Ha?”
“
Gab, kamu gelisah dan itu terlalu jelas.”
Gabriel
nampak terperangah, lalu hanya diam menatap pricilla.
“Kamu
gak lagi gelisah karena harus bilang ke Shilla kan?”
Telak.
Gabriel menegang, karena nyatanya tuduhan Pricilla sangat tepat. Mungkin memang
terlalu jelas, Bukannya dia mulai bergelagat gelisah ketika Pricilla membaca
pesan Shilla lalu kemudian gadis itu yang membalasnya. Meminta Shilla untuk
menemuinya-dengan pricilla- untuk memberitahu Shilla tentang rencana
pernikahannya. Padahal belum lama ini Ia dengan tidak tau malunya mengaku pada
Shilla bahwa dia masih mencintai gadis itu.
“
Kalo kamu gak bisa, berhenti ngasih janji aku kebahagiaan gab.” Kata Pricilla
tenang, meski tersemat tantangan didalamnya.
Gabriel
kembali menegang. Ia masih tidak berkomentar.
Hening
sesaat. Sampai Gabriel berdiri. “Aku ke toliet dulu.” Katanya, lalu beranjak
pergi.
Begitu
Gabriel pergi, Pricilla mengembangkan senyum miring. Setragis inikah hidupnya,
Ia menikah dan .. hamil dengan orang yang tidak mencintainya. Akan jadi apa
sisa hidupnya nanti.
Pricilla
mendesah. Lalu ketika Ia mendengar suara lonceng pintu berdenting ketika ada
seseorang yang masuk. Entah mengapa Ia tertarik untuk mendongak melihatnya. Dan
benar saja, gadis dengan balutan dress bunga-bunga yang nampak sederhana tengah
mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru cafe. Gadis yang Ia tunggui, gadis
yang gabriel cintai.
Pricilla
berdiri, melambai-lambaikan tangannya. “ Shilla. “ panggilnya setengah teriak.
Yang
dipanggil segera menoleh dengan ekpresi keheranan, meski begitu gadis itu
berjalan menghampirinya.
“Kak.
Pri.cilla..” sapa gadis itu nampak ragu.
“Hi
Shilla.. ayo duduk.” Kata Pricilla mencoba ramah.
Shilla
masih diam saja dengan kedua alis yang saling bertautan.
“
Duduk aja. Mau ketemu Gabriel kan? ” Ujar Pricilla lagi, secara tidak langsung
menjawab ketidak mengertian Shilla.
Dalam
diam Shilla mengangguk, Ia ambil tempat tepat didepan gadis cantik berambut
indah itu. jika dibanding Pricilla, Shilla tentu tidak ada apa-apanya.
Keadaan
kembali hening, sampai Shilla berdehem sekali dan bertanya. “ Kak gabrielnya
mana ya kak?”
Pricilla
yang tadinya tengah mengotak-ngatik gedgetnya, mendongak. “ Ke toilet.”
Jawabnya datar. Merasa kebencian sudah mulai menguasai dirinya.
Shilla
mengangguk-ngangguk mengerti, lalu kembali memilih diam. tidak menyadari
perubahan ekspresi pricilla yang nampak keras.
“
Gue yang minta lo kesini.” Kata Pricilla akhirnya, sudah tidak tahan melihat
wajah polos didepannya. Seakan-akan tidak ada dosa yang ditanggungnya, tidak
taukah dia bahwa karena dia masa depannya terancam hancur.
Setelah
hanya diam cukup lama diam, dengan mulut ternganga. Shilla bertanya.” Maksud
kakak apa?”
“
Ya! gue yang baca sms lo, dan gue yang nyuruh lo kesini.” Jawab Pricilla ketus.
“Tapi
itu kan Nomor HP kak gabriel kak. kok kakak yang ba...”
“
Gue calon istrinya. Apa gak boleh?” potong Pricilla telak.
Shilla
terperangah. Pandangannya mengabur.
“
Gue sama Gabriel sengaja minta lo kesini buat ngasih ini. “ kata Pricilla jahat,
Ia sodorkan undangan berwarna hijau tosca dengan Pita merah muda yang
mengikatnya. “ Kehadiran kamu yang paling dinanti, datanglah. “
Air
mata Shilla sudah menetes ketika dengan lekat-lekat
menatap undangan didepannya. “ menikah?” desahnya tidak sadar.
Pricilla
tersenyum miring ketika mendengarnya, suara itu terdengar penuh luka. “ Iya.
Dan gue harap lo cukup sadar diri untuk mundur teratur Shilla. “
Dengan
perlahan Shilla mengangkat kepala. Membalas tatapan Pricilla dengan mata yang
sudah basah. “ Urusan aku udah selesai kak. aku pamit. “ kata Shilla akhirnya
dengan terbata-bata.
“Ya.
Gue bakal bilang Gabriel lo punya urusan mendadak. Makasih buat pengertiannya
shilla.”
Shilla
mengangguk-ngangguk, lalu pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Sudah cukup Ia
terus-menerus menyakiti hatinya yang sudah terluka. Sudah.. cukup. aku mohon..
***
Ina
membuka pintu, dan langsung mengerutkan kening melihat raut wajah Shilla yang
masih memetakan sisa jejak air matanya.
“
Shilla? “ tanya Ina sambil membuka pintu lebih lebar.
Shilla tidak
menyahut, Ia melangkah lebih mendekati ibunya, kemudian memeluknya. “ Ayo kita
pergi bunda..” bisik Shilla, suaranya kini kembali bergetar.
Ina
mengangguk, kemudian mengusap-usap punggung Shilla yang masih ada dalam
pelukannya. Setelah beberapa lama, dia lalu melonggarkan pelukannya, tapi kedua
tangannya masih dengan hangat merengkuh pundak Shilla. Ina tersenyum “ Jangan
menangis lagi anakku. Berjanjilah.” Ujarnya penuh kasih sayang. Shilla
mengangguk, Ina kembali menepuk pundak Shilla.
“Tok.. Tok..
Tok..” Hampir bersamaan Ina dan Shilla menoleh ke arah pintu utama.
Dengan
cekatan Shilla menghapus airmata yang sudah terlanjur menetes. Ia memberi
senyum singkat pada Ina.“ Shilla aja yang buka bun” ujarnya, lalu segera
menghampiri pintu utama rumahnya.
Pintu
terbuka dan salah seorang pemuda tengah berdiri memungguinya, “ Kak Alvin?”
Panggil Shilla ragu.
Pemuda itu
memutar badan dengan cepat.” Shilla.” serunya nampak tersentak.
Meski dengan
kening berkerut, Shilla mempersilakan Alvin untuk masuk. “ masuk kak..”
tawarnya.
“ Gak usah
Shill, gue Cuma ada urusan sebentar.” Sahut Alvin.
Shilla mulai
merasa ada yang tidak beres. Tidak biasa-biasanya Alvin datang kerumahnya.”
Apa?”
“ Temui Rio
Shill, gue mohon.”
“ Gue sibuk
kak.” jawabnya cepat. datar.
“ Sebentar
aja. Sebelum lo bener-bener milih untuk ninggalin dia.”
Shilla
tersentak, apa Alvin tau tentang rencananya. Tapi jika memang sudah tau,
harusnya Alvin juga tau meski mau bertemu pun Ia tidak bisa.
“ Dia udah
ngecewain aku kak.” Sahut Shilla, beralasan.
“ Ini salah
paham Shill. Dia cinta mati sama lo, jadi dia gak mungkin bertindak sebodoh itu
kalo itu bikin lo kecewa.”
“ Tapi
kenapa dia nyuruh kakak kesini, kenapa dia gak datang sendiri untuk jelasin ke
aku?” tanyanya masih mencari alasan.
Alvin
mendesah. Emosinya mulai naik, dia tidak senang dengan gadis didepannya yang
nampak tak acuh. Tidak taukah gadis itu, jika Rio hancur karena gadis itu
berniat meninggalkannya.. “ Asal lo tau Shilla. Dia hampir mati dihajar orang
yang gak dikenal waktu mau nyusulin lo kemarin. Mungkin kalo dia bisa pergi
dari bed kamar rumah sakit, dia udah kesini mohon-mohon ke lo”
Shilla
lagi-lagi harus dibuat tersentak. Rio? Dirumah sakit?
“ Jangan
nyesel kalo kabar terbaru yang lo denger tentang dia, dia mati bunuh diri
karena lo mutusin dia dengan alasan yang sampe sekarang gue juga gak ngerti.
You know Shilla, kalo gue tau orang yang dicintai sahabat gue ternyata Cuma
mainin dia kayak gini, gue nyesel udah bantuin dia berjuang buat lo.”
“ Kak..
aku..” Perkataan Shilla berhenti, Ia tidak tau harus berkata apa-apa lagi.
Semua ini membuatnya lelah, membuat serba salah hanya untuk melangkah. “ Maaf
.” Ucapnya akhirnya.
“ Kalo maaf
lo bisa balikin sahabat gue yang tanpa masalah jauh sebelum kenal lo. gue
mungkin bisa terima. “ sahut Alvin kembali melunak. Ia sebenarnya mulai
frustasi, Ia hampir kehilangan arah, karena cara terakhir yang Ia pikir akan
berhasil tapi ternyata hasilnya sama sekali jauh dari harapan.
Hening
sesaat, sampai Alvin mendesah panjang, “ Nih alamat Rumah sakit Rio dirawat,
kalo lo berubah pikiran. “
Shilla
menerimanya dalam diam, setelahnya tanpa berkata-kata apa lagi Alvin pergi dari
tempat itu. Meninggalkan Shilla yang sama –sama tak memiliki arah sepertinya.
To be
Continued.....
Ayo kak dilanjut. Dag dig dug ini bacanya. Jangan lama - lama ya..
BalasHapusAyo kak dilanjut. Dag dig dug ini bacanya. Jangan lama - lama ya..
BalasHapusAstaga kaaakkk:( hampir nangis sumpah :' ironis bgt u,u kakak tegaa
BalasHapus