Minggu, 10 Agustus 2014

Kamu Untuk Aku : Part 29


Jika cinta ini begitu menyiksa, Ia menyesal karena terlena untuk menerimanya.
Jika cinta ini harus diminta untuk pergi, Ia menyesal telah membiarkannya datang.

Shilla masih duduk bersila di tempat tidurnya. Memeluk erat-erat boneka beruangnya. Tanpa sadar, dia menggigit bibirnya sendiri, menahan sakit dihatinya yang siap membuat tangisnya kembali pecah. Ternyata rasanya lebih sakit dari yang Ia pikir.

Kenapa hati harus terluka dikala ada bunga cinta yang sedang bermekaran?

Shilla menarik nafas panjang. Terasa berat. Bahkan dadanya terasa masih sesak saat dia menghela nafas. Diraihnya ponselnya dengan tangan kanan. Untuk beberapa saat, Shilla hanya menatap layar ponsel itu, masih dicekam keraguan.

Akhirnya, Shilla memantapkan hatinya. Dia tahu, rencana itu mungkin absurd. Tidak masuk akal. Tapi bagaimanapun juga, dia butuh seseorang untuk bersandar, berbagi keluh kesah.

Ditekannya sejumlah tombol di ponsel itu hingga dia menemukan sebuah nama yang dia cari. Keraguan kembali menyelimutinya. Shilla menyandarkan tubuhnya dengan mata terpejam. Berusaha menenangkan diri. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa inilah langkah yang harus dia lakukan. Meskipun ini bukanlah yang dia inginkan.

Akhirnya setelah beberapa tarikan nafas, Shilla membuka matanya. Memainkan kembali jarinya di ponsel. Mengirim pesan pendek. Karena Shilla sadar, mungkin dia tidak akan sanggup berbicara langsung.

“ Kak.. apa bisa kita bertemu? Dan kalo boleh.. aku pinjam bahumu untuk sekedar bersandar.”

Begitu melihat laporan bahwa pesan tadi sudah terkirim, Shilla meletakkan ponsel itu di hadapannya.

Sambil menunggu balasan Gabriel, Shilla termangu. Dalam hati dia bisa membayangkan ekspresi wajah Gabriel, Mungkin dia akan mengerutkan kening. Atau mungkin, Gabriel hanya akan mengangkat alisnya dengan heran.

Shilla kembali mendesah entah untuk yang keberapa kalinya. Ia akan sekalian berpamitan dengan gabriel. Pikirnya.

Setelah cukup lama, Ponsel Shilla bergetar singkat.

Temui aku di Pandan Cafe, jam 10.”

Shilla menautkan kedua alisnya, merasa asing dengan balasan itu, ini terlalu to the point untuk seorang gabriel. Ah entahlah, dia sudah terlalu lelah untuk sekedar memikirkan keganjilan ini.

Shilla tidak membalas lagi pesan itu, melirik jam tangannya. Melihat jam tangannya sudah menunjukkan pukul 08.30, shilla segera berdiri. Bermaksud untuk bersiap-siap, akan sangat menyebalkan jika dia meminta tolong dan dia terlambat.

Shilla menatap hampa ke arah bayangannya yang balik menatapnya. Ada lingkaran hitam di bawah kedua matanya yang nampak sayu. Ia amati lekat-lekat dirinya yang kurus dalam balutan baju rumahan yang terlampau sederhana. Ia bukan apa-apa.

Pergilah sejauh mungkin... sampai mario tidak bisa menemukannya.”

Shilla memalingkan wajah, menghapus air mata yang kembali menetes seperti tidak ada habisnya setelah mengalir semalaman.

Tangisnya kembali pecah. Seolah-olah seperti airmatanya, sakit dihatinya pun tidak ada habisnya.


***


Pricilla membalik lembaran berikutnya buku yang sedang Ia baca, berpura-pura berkonsentrasi dengan buku yang Akhir-akhir ini sering Ia bawa kemana-mana.

Alih-alih bisa menyerap pengetahuan sistem reproduksi wanita yang Ia baca dari buku itu, Pricilla lebih tertarik melirik berkali-kali pemuda didepannya yang nampak tidak nyaman... nampak gelisah.

Dengan sedikit kasar Ia menutup buku tebal itu. membuat pemuda itu sedikit terlonjak lalu menatapnya.

“ Kenapa?” Tanya Pricilla tanpa berbasa-basi.

“Ha?”

“ Gab, kamu gelisah dan itu terlalu jelas.”

Gabriel nampak terperangah, lalu hanya diam menatap pricilla.

“Kamu gak lagi gelisah karena harus bilang ke Shilla kan?”

Telak. Gabriel menegang, karena nyatanya tuduhan Pricilla sangat tepat. Mungkin memang terlalu jelas, Bukannya dia mulai bergelagat gelisah ketika Pricilla membaca pesan Shilla lalu kemudian gadis itu yang membalasnya. Meminta Shilla untuk menemuinya-dengan pricilla- untuk memberitahu Shilla tentang rencana pernikahannya. Padahal belum lama ini Ia dengan tidak tau malunya mengaku pada Shilla bahwa dia masih mencintai gadis itu.

“ Kalo kamu gak bisa, berhenti ngasih janji aku kebahagiaan gab.” Kata Pricilla tenang, meski tersemat tantangan didalamnya.

Gabriel kembali menegang. Ia masih tidak berkomentar.

Hening sesaat. Sampai Gabriel berdiri. “Aku ke toliet dulu.” Katanya, lalu beranjak pergi.

Begitu Gabriel pergi, Pricilla mengembangkan senyum miring. Setragis inikah hidupnya, Ia menikah dan .. hamil dengan orang yang tidak mencintainya. Akan jadi apa sisa hidupnya nanti.

Pricilla mendesah. Lalu ketika Ia mendengar suara lonceng pintu berdenting ketika ada seseorang yang masuk. Entah mengapa Ia tertarik untuk mendongak melihatnya. Dan benar saja, gadis dengan balutan dress bunga-bunga yang nampak sederhana tengah mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru cafe. Gadis yang Ia tunggui, gadis yang gabriel cintai.

Pricilla berdiri, melambai-lambaikan tangannya. “ Shilla. “ panggilnya setengah teriak.

Yang dipanggil segera menoleh dengan ekpresi keheranan, meski begitu gadis itu berjalan menghampirinya.

“Kak. Pri.cilla..” sapa gadis itu nampak ragu.

“Hi Shilla.. ayo duduk.” Kata Pricilla mencoba ramah.

Shilla masih diam saja dengan kedua alis yang saling bertautan.

“ Duduk aja. Mau ketemu Gabriel kan? ” Ujar Pricilla lagi, secara tidak langsung menjawab ketidak mengertian Shilla.

Dalam diam Shilla mengangguk, Ia ambil tempat tepat didepan gadis cantik berambut indah itu. jika dibanding Pricilla, Shilla tentu tidak ada apa-apanya.

Keadaan kembali hening, sampai Shilla berdehem sekali dan bertanya. “ Kak gabrielnya mana ya kak?”

Pricilla yang tadinya tengah mengotak-ngatik gedgetnya, mendongak. “ Ke toilet.” Jawabnya datar. Merasa kebencian sudah mulai menguasai dirinya.

Shilla mengangguk-ngangguk mengerti, lalu kembali memilih diam. tidak menyadari perubahan ekspresi pricilla yang nampak keras.

“ Gue yang minta lo kesini.” Kata Pricilla akhirnya, sudah tidak tahan melihat wajah polos didepannya. Seakan-akan tidak ada dosa yang ditanggungnya, tidak taukah dia bahwa karena dia masa depannya terancam hancur.

Setelah hanya diam cukup lama diam, dengan mulut ternganga. Shilla bertanya.” Maksud kakak apa?”

“ Ya! gue yang baca sms lo, dan gue yang nyuruh lo kesini.” Jawab Pricilla ketus.

“Tapi itu kan Nomor HP kak gabriel kak. kok kakak yang ba...”

“ Gue calon istrinya. Apa gak boleh?” potong Pricilla telak.

Shilla terperangah. Pandangannya mengabur.

“ Gue sama Gabriel sengaja minta lo kesini buat ngasih ini. “ kata Pricilla jahat, Ia sodorkan undangan berwarna hijau tosca dengan Pita merah muda yang mengikatnya. “ Kehadiran kamu yang paling dinanti, datanglah. “

Air mata Shilla sudah menetes ketika dengan lekat-lekat menatap undangan didepannya. “ menikah?” desahnya tidak sadar.

Pricilla tersenyum miring ketika mendengarnya, suara itu terdengar penuh luka. “ Iya. Dan gue harap lo cukup sadar diri untuk mundur teratur Shilla. “

Dengan perlahan Shilla mengangkat kepala. Membalas tatapan Pricilla dengan mata yang sudah basah. “ Urusan aku udah selesai kak. aku pamit. “ kata Shilla akhirnya dengan terbata-bata.

“Ya. Gue bakal bilang Gabriel lo punya urusan mendadak. Makasih buat pengertiannya shilla.”

Shilla mengangguk-ngangguk, lalu pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Sudah cukup Ia terus-menerus menyakiti hatinya yang sudah terluka. Sudah.. cukup. aku mohon..


***

Ina membuka pintu, dan langsung mengerutkan kening melihat raut wajah Shilla yang masih memetakan sisa jejak air matanya.

“ Shilla? “ tanya Ina sambil membuka pintu lebih lebar.

Shilla tidak menyahut, Ia melangkah lebih mendekati ibunya, kemudian memeluknya. “ Ayo kita pergi bunda..” bisik Shilla, suaranya kini kembali bergetar.

Ina mengangguk, kemudian mengusap-usap punggung Shilla yang masih ada dalam pelukannya. Setelah beberapa lama, dia lalu melonggarkan pelukannya, tapi kedua tangannya masih dengan hangat merengkuh pundak Shilla. Ina tersenyum “ Jangan menangis lagi anakku. Berjanjilah.” Ujarnya penuh kasih sayang. Shilla mengangguk, Ina kembali menepuk pundak Shilla.

“Tok.. Tok.. Tok..” Hampir bersamaan Ina dan Shilla menoleh ke arah pintu utama.

Dengan cekatan Shilla menghapus airmata yang sudah terlanjur menetes. Ia memberi senyum singkat pada Ina.“ Shilla aja yang buka bun” ujarnya, lalu segera menghampiri pintu utama rumahnya.

Pintu terbuka dan salah seorang pemuda tengah berdiri memungguinya, “ Kak Alvin?” Panggil Shilla ragu.

Pemuda itu memutar badan dengan cepat.” Shilla.” serunya nampak tersentak.

Meski dengan kening berkerut, Shilla mempersilakan Alvin untuk masuk. “ masuk kak..” tawarnya.

“ Gak usah Shill, gue Cuma ada urusan sebentar.” Sahut Alvin.

Shilla mulai merasa ada yang tidak beres. Tidak biasa-biasanya Alvin datang kerumahnya.” Apa?”

“ Temui Rio Shill, gue mohon.”

“ Gue sibuk kak.” jawabnya cepat. datar.

“ Sebentar aja. Sebelum lo bener-bener milih untuk ninggalin dia.”

Shilla tersentak, apa Alvin tau tentang rencananya. Tapi jika memang sudah tau, harusnya Alvin juga tau meski mau bertemu pun Ia tidak bisa.

“ Dia udah ngecewain aku kak.” Sahut Shilla, beralasan.

“ Ini salah paham Shill. Dia cinta mati sama lo, jadi dia gak mungkin bertindak sebodoh itu kalo itu bikin lo kecewa.”

“ Tapi kenapa dia nyuruh kakak kesini, kenapa dia gak datang sendiri untuk jelasin ke aku?” tanyanya masih mencari alasan.

Alvin mendesah. Emosinya mulai naik, dia tidak senang dengan gadis didepannya yang nampak tak acuh. Tidak taukah gadis itu, jika Rio hancur karena gadis itu berniat meninggalkannya.. “ Asal lo tau Shilla. Dia hampir mati dihajar orang yang gak dikenal waktu mau nyusulin lo kemarin. Mungkin kalo dia bisa pergi dari bed kamar rumah sakit, dia udah kesini mohon-mohon ke lo”

Shilla lagi-lagi harus dibuat tersentak. Rio? Dirumah sakit?

“ Jangan nyesel kalo kabar terbaru yang lo denger tentang dia, dia mati bunuh diri karena lo mutusin dia dengan alasan yang sampe sekarang gue juga gak ngerti. You know Shilla, kalo gue tau orang yang dicintai sahabat gue ternyata Cuma mainin dia kayak gini, gue nyesel udah bantuin dia berjuang buat lo.”

“ Kak.. aku..” Perkataan Shilla berhenti, Ia tidak tau harus berkata apa-apa lagi. Semua ini membuatnya lelah, membuat serba salah hanya untuk melangkah. “ Maaf .” Ucapnya akhirnya.

“ Kalo maaf lo bisa balikin sahabat gue yang tanpa masalah jauh sebelum kenal lo. gue mungkin bisa terima. “ sahut Alvin kembali melunak. Ia sebenarnya mulai frustasi, Ia hampir kehilangan arah, karena cara terakhir yang Ia pikir akan berhasil tapi ternyata hasilnya sama sekali jauh dari harapan.

Hening sesaat, sampai Alvin mendesah panjang, “ Nih alamat Rumah sakit Rio dirawat, kalo lo berubah pikiran. “

Shilla menerimanya dalam diam, setelahnya tanpa berkata-kata apa lagi Alvin pergi dari tempat itu. Meninggalkan Shilla yang sama –sama tak memiliki arah sepertinya.

To be Continued.....

3 komentar:

  1. Ayo kak dilanjut. Dag dig dug ini bacanya. Jangan lama - lama ya..

    BalasHapus
  2. Ayo kak dilanjut. Dag dig dug ini bacanya. Jangan lama - lama ya..

    BalasHapus
  3. Astaga kaaakkk:( hampir nangis sumpah :' ironis bgt u,u kakak tegaa

    BalasHapus