Minggu, 10 Agustus 2014

Kamu Untuk Aku : Part 28



Mobil Cakka melaju pelan, lalu berhenti didepan gang kecil yang tidak bisa dilalui mobil. Ia matikan mesin mobilnya, yang Hal itu membuat gadis berambut panjang disampingnya mengangkat kepala, gadis itu Nampak menghapus airmata yang membasahi pipinya dengan cekatan .Cakka sangat yakin gadis itu menangis selama terus-menerus menunduk dalam perjalanan.

Gadis itu menoleh. Menatapnya sendu. “ Makasih yaa.” Katanya serak dan bergetar.

“Shill..” Ujar Cakka Khawatir. Namun dengan cepat Shilla meletakkan jari telunjuknya di bibirnya, membuatnya harus mengurungkan niat untuk mengkhawatirkan gadis itu.

Lalu tanpa disangka gadis itu tersenyum lebar sampai membuat mata bulatnya terpejam. “Gak papa.” Katanya dengan suara yang lebih baik. “ Makasih ya sekali lagi. “ Lanjutnya lalu segera melompat turun dari mobil milik Cakka. Melambaikan tangan sekali lalu menutup pintu mobil itu.

Cakka masih diam, Ketika gadis itu dengan langkah pelan telah melangkah pergi menjauh darinya. Cakka tau gadis itu sedang tidak baik-baik saja, bahkan Cakka tau saat ini gadis itu tengah berjalan sambil menangis.

Cakka memalingkan wajah, tak kuasa melihat tubuh gadis itu mulai bergetar. Cakka memukul stir mobil emosi, wajahnya sudah merah padam. Ia marah, melihat sahabat yang paling Ia cintai diperlakukan seperti ini. Bukannya Ia pernah mengingatkan bahwa Ia akan murka jika lelaki itu menyakiti Shillanya.

Cakka mengambil ponsel dari saku seragam sekolahnya, menekan beberapa tombol lalu mendekatan ponsel itu ditelinga.

“Hallo bang. Cakka mau minta tolong. Ada yang perlu diberi pelajaran. Di gang deket lapangan. Cakka yakin sasaran pasti lewat sini. Iya. Segera ya bang. Bawa masa yang banyak bang kalo perlu. Jika perlu kita bikin sampai mati.”

***


Rio hampir frustasi memikirkan kenapa kesalahpahaman seperti ini bisa terjadi, Membuatnya sama sekali tidak berkonsentrasi saat mengendarai mobil.  Kenapa Shilla melihatnya bertindak seperti halnya pemuda brengsek.

Dari berbagai masalah yang sudah menimpanya, tidakkah semua ini cukup. Mengapa dunia begitu tidak adil untuk hidupnya.

Rio Menginjak pedal gas semakin dalam, melajukan mobil yang Ia pinjam dari Alvin secepat yang Ia bisa, membelah jalanan Jakarta yang sedikit lenggang seperti memihaknya. Ia harus segera menemui gadis itu, secepatnya. Hanya gadis itu tujuan hidupnya, jika Ia tak lagi bisa disisi gadis itu. Percayalah, Rio akan memilih mati sebagai jalan terakhirnya.

Rio menautkan alis, menyipitkan mata melihat setidaknya ada 6 pemuda yang dengan menantang berdiri di jalan yang akan Ia lewati. Ia mendengus kesal, apapun yang sedang terjadi saat ini, Ia tak sedang ingin bermain-main. Apa yang sebenarnya diinginkan mereka? Uang?

Rio menghentikan laju mobilnya. Menatap satu persatu gerombolan pemuda itu dengan penuh Tanya. Rio menautkan alis, merasa mengenali salah satu pemuda dari 6 pemuda itu.

“ TURUN!” kata salah satu dari mereka sambil menunjuk kearahnya.

Rio mendengus lagi, merasa ini benar-benar membuang waktunya. Ia turun, bermaksud memberi uang kepada mereka yang mungkin menjadi alasan mereka menghentikan perjalanannya.

Baru Rio membuka mulutnya untuk sekedar bertanya ‘ada apa’, salah satu pemuda dengan kemeja kebesaran menghampirinya dan menghantam rahangnya dengan keras. Membuatnya langsung terjungkal karena tidak siap.

Dengan perlahan Rio yang masih linglung berdiri, belum sampai tubuhnya berdiri tegak seseorang dengan cepat kembali menyerangnya dengan menendang perutnya keras. Ia kembali terjungkal hingga punggungnya membentur kap mobil milik Alvin.

Tidak sampai disitu, ada yang dengan berkali-kali menendang dan meninju perutnya. Ia hanya pasrah, benar-benar tidak bisa mengelak. Ia tidak terlalu suka berkelahi, bahkan dia tidak bisa berkelahi. Ia biarkan tubuhnya terasa semakin nyeri dengan serangan yang tidak ada habisnya, membuat dadanya sesak dan sangat menyakitkan.

Entah sudah serangan keberapa, yang Rio rasakan kali ini wajahnya yang menjadi sasaran. Seseorang sedang memukulnya dengan membabi buta. Rio tidak tau siapa yang melakukannya, bahkan Ia tidak ingin pusing memikirkannya karena Ia tengah sibuk memikirkan Ia akan mati sebelum meluruskan masalahnya.

Tubuh Rio terhempas menghantam aspal, setelah pegangan dikedua tengannya dilepaskan. Setelahnya dia merasa sekelilingnya hampir seperi tidak nyata. Orang berlari, orang-orang berteriak..

“ Kamu pantas mati.”

“ Ada orang. Ayo Kabur!”

“APA YANG KALIAN LAKUKAN!’

“ Ini karena.. sudah menyakiti Shilla.”

“Buruan Kka. Ayo lari.”

“ Kejar mereka! Kejar!”

“ Yo. Yo. Bangun yo.”

Rio tak ingat apa-apa lagi.

***

Manda  berdiri  di  depan  ruangan  perawatan  Rio  dengan cemas,  tangannya  menggenggam  tangan  suaminya setengah  menangis. Matanya  semakin  berkaca-kaca  ketika  mendengar  suara  teriakan  dari  dalam. Teriakan Rio.

“ Zeth..” hati Manda terasa di iris-iris, menyadari bahwa putra tunggalnya semakin menderita saat dia mencoba selalu berada disisinya.

“ Tenanglah manda. Anak kita kuat. “ ujar Zeth meyakinkan, merengkuh bahu istrinya itu semakin kuat. Meski dalam hati, Ia merasakan hal yang sama dengan manda. Ia khawatir, Ia kalut, ini untuk pertama kalinya. Selama ini pemuda itu tidak pernah melewati garis tembus pandang yang tanpa sadar Ia ciptakan, membuat putra tunggalnya itu selalu dalam batas aman, terlindungi. Dan Ia sadar, kini semuanya telah berubah, Rio telah melewati garis itu, dan Rio melewatinya terlalu jauh.

Alvin yang juga tengah menunggu dengan cemas di lorong rumah sakit depan ruang perawatan Rio, meringis nyeri mendengar ucapan ayah dari sahabatnya, Ia ingin menyangkal, karena Rio tak sekuat yang Pria dewasa itu pikir. Meski tidak pernah mengatakannya, Alvin selalu tau saat pemuda itu tengah kesepian, dan terkadang nampak terlihat sangat kecewa-entah karena apa. Rio benar-benar tidak pernah membagi keresahannya, ini hanya tebakan seorang sahabat 10 tahun.

Suara  teriakan  itu  terdengar  lagi,  begitu  serak  hingga  Alvin  hampir  tak mengenalinya. Tubuhnya menegang, merasa tidak becus menyandang sebagai sahabat Rio.

“ Berapa lama lagi ini Zeth?” Tanya manda lagi, menunggu di luar seperti ini terasa bagaikan siksaan yang paling mengerikan.

Zeth diam saja, memperkuat rengkuhannya pada bahu manda. Ia pun sama sakitnya seperti Manda.

Penantian  itu  terasa  begitu  lama,  lama  sekali  sampai  tim  dokter  dan  perawat keluar dan mengizinkan salah satu untuk masuk.

Dengan  hati-hati,  Manda  melangkah  masuk  ke  ruangan  perawatan  Rio. Hatinya semakin sakit, melihat Rio yang penuh luka, perban di pasang di beberapa bagian, dan banyak lebam yang mungkin ada disekujur tubuhnya sangking banyaknya.

“ Mario..” Panggilnya lirih. Airmatanya sudah siap untuk kembali menetes.

Membuat Rio yang tengah dengan pandangan kosong melihat jendela, menoleh cepat. Menatap Manda dengan begitu dingin.

Manda menghela nafas, mengulurkan tangannya bermaksud meraih tangan putra tunggalnya untuk Ia genggam. Namun dengan cepat Rio menepis tangan manda.

Manda terlonjak kaget dengan gerakan Rio yang cepat. Ia menatap Rio sendu, Rio membalasnya dengan tajam. “Jangan Sentuh saya..” desis Rio dingin.

Manda tersentak sebentar, karena detik selanjutnya Ia kembali mengulurkan tangannya untuk mencoba meraih tangan Rio. “Rio..” Panggilnya lagi.

Rio mengelak dengan menggeser sedikit tubuhnya, melupakan nyeri yang menyerang hampir di sekujur tubuhnya saat dia bergerak. “ JANGAN SENTUH SAYA!!” Ia marah, marah dengan dengan perempuan paruh baya yang saat ini tengah menangis didepannya, marah dengan suaminya perempuan ini. Ia marah, Marah dengan keadaan. Jika akan seperti ini, Ia lebih memilih orangtuanya yang nyatanya tidak peduli padanya tidak pulang untuk selamanya.

“ Ma.af.in. mama..” kata Manda di tengah Isakannya.

Rio melengos. Apa dia bilang? Maaf? Andai wanita ini melakukannya sejak 3 tahun yang lalu, ketika wanita ini mulai memutuskan untuk meninggalkannya sendiri, membuatnya kesepian, membuatnya harus terus-menerus merasakan sakit hati dan hanya bisa dipendam. mungkin Ia akan memaafkan dengan mudah. Tapi kini, setelah 3 tahun yang mengerikan, akan beda ceritanya. Hatinya sudah terlanjur sakit, hatinya sudah berlubang karena terlalu banyak menerima pesakitan.

“ Pergi.. “ kata Rio datar, tanpa melihat ke lawan bicaranya.

Hati manda semakin sakit, Ia bersumpah telah menyesali keegoisannya. Tidakkah Ia mendapat ampun.

“ PERGI !” Rio tak bisa lagi mengontrol emosinya, Ia ingin semua tau, betapa dalam sakit yang Ia rasakan.

BRAAK. Zeth masuk setelah mendorong pintu ruangan itu kuat hingga membentur dinding. “TARIK UCAPANMU MARIO!” teriaknya murka, Ia mendengar semuanya. Apa-apaan anak ini, berani-beraninya mengusir ibunya pergi. Pikirnya marah.

Rio diam sesaat, membalas tatapan murka ayahnya dengan tatapan sengit. “ Lebih baik aku mati.” Balasnya dingin.

“KAMU!..

“ JANGAN Zeth!” Manda memeluk tubuh tinggi suaminya, menahan lelaki itu yang sudah mengangkat tangan besarnya. “ Jangan.” Katanya lebih pelan, lalu mengeratkan pelukannya.

Zeth menghela nafas, melunakkan tatapannya pada Rio yang masih menatapnya sengit. “ Beristirahatlah.” Ujar Zeth dengan nada lebih rendah. Ia lepaskan pelukan Manda lalu mengangkat wajah istrinya itu dengan lembut.

Ketika Manda sudah menatapnya dengan mata basah. Ia memberi senyum kaku. “ Kamu juga perlu istirahat. Ayo pulang “

Manda mengangguk dalam diam. Membalikkan badan, membuka mulut untuk sekedar mengatakan pamit untuk pulang namun dengan kecewa Ia harus mengurungkan menyuarakan suaranya, karena Rio telah memutar kepalanya kembali menatap jendela disampingnya.

“Ayo..” ajak Zeth lagi, menarik Manda pelan dan manda hanya bisa menurutinya dalam diam. Meninggalkan ruangan dingin itu tanpa berkata apa-apa lagi.


***


Alvin menghela nafas, baru saja kedua orang tua sahabatnya berpamitan untuk pulang dan menitipkan Rio padanya.

Saat ini dia tengah berdiri mematung didepan pintu ruang rawat Rio, tangan kirinya menenteng kotak biru yang Ia temukan diatap gedung. Dan ketika melihat isinya, Ia langsung tau hadiah ini untuk siapa.

Alvin hanya diam didepan pintu cukup lama, sampai tangan kanannya meraih kenop pintu untuk membukanya, lalu dengan langkah pelan memasukinya.

Alvin duduk  di  sebelah  ranjang,  dan  Rio  langsung  menyadari  kehadirannya.

“ Hai.” Alvin diam sebentar, memberi jeda.“ Bad boy. ” Lanjutnya bergurau.

Rio memberi senyum miring untuk membalas sapaan Alvin.

“Apa berkelahi menyenangkan kayak yang lo pikirin?” Tanya Alvin kembali bergurau. Ia ingat kata-kata Rio ketika mereka masih duduk di kelas 1 SMP. Katanya “Berkelahi kayaknya nyenengin ya, jadi tambah keren juga.”

Rio tersenyum lagi, lebih lebar. Ia menggeleng pelan. “Rasanya gak sekeren yang gue pikir, Ini yang terakhir.. gue rasa.”

Alvin terkekeh, tidak lama. Karena detik selanjutnya, perasaan bersalah kembali menggelayuti hatinya. “Maaf.” Kata Alvin akhirnya.

Rio mengerutkan dahi, menatap Alvin dengan ekspresi bertanya.

“ Gue udah tau lama soal perasaan Ify ke lo. “ kata Alvin, berhasil membuat Rio tercengang. “ Maaf karena gak pernah ngasih tau lo. Gue takut kalo lo tau… Lo bakal berubah sikap ke dia dan bikin dia patah hati.”

Rio masih tidak menyahut, masih memperhatikan Alvin yang terlihat akan melanjutkan ucapannya.

“Tapi sekarang gue sadar. Gue salah. Karena dengan sikap lo yang selalu care ke dia padahal lo gak ada maksud apa-apa, bikin dia ngambil kesimpulan beda dari niat awal lo yang bertindak seperti halnya sahabat pada umumnya. Dia nyiptain harapannya sendiri.

“… dan saat lo nemuin Shilla sebagai cinta sejati lo, mungkin itu bikin dia sadar harapan yang Ia pikir akan terwujud ternyata hanya sebuah harapan….”

Alvin diam sebentar. Merasakan tiba-tiba sakit menyerang hatinya begitu dalam. “…. Mungkin Karena itu dia nganggep kamu selalu bikin dia hancur…. Padahal, dia hancur kerena harapannya sendiri.”

Alvin menghela nafas panjang, menandakan Ia telah selesai bicara.

Hening sesaat, sampai Rio mendesah dan menyuarakan suaranya. “ Lo gak perlu minta maaf Vin. Ini bukan salah lo. Ini salah gue, harusnya gue sadar dengan Sikap Ify yang semenjak kehadiran Shilla lebih agresif ke gue. Tapi.. gue diem aja, gue masih berpura-pura kalo itu bukan apa-apa.”

Rio diam sebentar, kembali mendesah. “ Yang Lebih tepatnya gue tau dan pengen bertindak, tapi gak tau mesti bertindak gimana? Posisi gue bener-bener bikin gue frustasi. Posisi gue sulit. Bukan bukan.. Posisi kita sulit.”

Rio diam untuk menyempatkan diri melirik Alvin yang ternyata tengah mendengarkannya bersungguh-sungguh, terlihat dari keningnya yang berkerut. “ Di sisi lain gue Cinta Shilla…”

“Cinta mati.. “ Alvin mengklarifikasi dengan memotong ucapan Rio.

Rio tersenyum kecil, lalu mengangguk. “ Ya. Gue cinta mati sama Shilla. Tapi gue juga gak bisa nunjukkin penolakkan gue ke Ify, yang padahal bisa aja gue lakuin. Karena gue tau, sahabat kita itu menghadapi kehidupan yang cukup sulit. Gue gak tega ninggalin dia sendirian, tapi di sisi lain gue gak pengen numbuhin rasa cintanya ke gue. Karena gue tau ada lo yang cinta dia.” Rio berhenti, untuk berdehem.

“ Cinta diam-diam lo. Yang buat gue mau gak mau harus tetep care sama dia. Tetap ada buat ngelindungi dia. menerima resikonya kayak sekarang. Dia jatuh cinta, tanpa gue bisa membalasnya.”

Alvin mengangguk, menyetujui Rio. “ Gue masih gak ngerti, sekarang gue mesti bersikap gimana? Gue pengen peduli sama dia, tapi gue tau gue udah terlambat. Tapi kalo gue diem aja, gue juga tau, gue harus berlapang dada menerima cinta gue gak akan terbalas.” Kata Alvin menanggapi.

Lagi-lagi Rio mendesah. “ Kenapa ya? Kita yang baru 18 tahun cobaannya udah berat banget. Tau gini, gue milih dihajar sampai mati.”

“ Jaga ucapan Mario.” Tegur Alvin marah. “ Kalo itu bener-bener terjadi, bisa aja lo nyesel udah ngomong gitu. “ lanjutnya.

Rio tidak menyahut, hanya mengembangkan senyum miring.

“ Bersyukurlah karena masih hidup. Karena setidaknya Tuhan masih ngasih lo kesempatan buat ngelurusin yang ini. “ Alvin melempar pelan kotak biru yang sedari tadi Ia pegangi di tempat tidur samping Rio. “ Ada surat didalamnya, dan gue... gak baca surat itu.”

Rio mengerutkan dahi, sebenarnya dia masih belum bisa menduga apa makna dari kehadiran kotak biru ini.

“ Gue kasih kesempatan buat lo baca surat itu dengan tenang.” Kata Alvin lagi, karena Rio tidak kunjung menyahut. “ Gue keluar.” Pamitnya. Lalu segera pergi meninggalkan ruangan itu, meninggalkan Rio yang tengah menimang-nimang kotak biru berukuran sedang itu.

Ketika tubuh jangkung Alvin hilang dibalik pintu, dengan hati-hati Rio membuka kotak itu. Menautkan Alis melihat isinya, setidaknya ada 4 kue sussen yang sedikit hancur dibeberapa bagian.

Kue sussen adalah favoritnya. Setiap kali melihat kue itu didepan matanya, rasanya Ia ingin melahap habis semua kue yang disajikan. Namun kali ini berbeda, dia lebih tertarik membuka surat merah muda yang diselipkan dikotak itu daripada mencomot salah satu kue sussen yang terlihat menggoda itu.

“Hi Pacarku. “ Rio menyuarakan kalimat pertama surat itu. Pacarku? Pacar? Mata Rio dengan cepat mencari siapa penulisnya. “Shil.la” desisnya terbata. Astaga. Pantas Rio merasa tidak asing dengan kotak biru ini, Ia sempat melihat kotak ini dijatuhkan Shilla ketika gadis itu berbalik pergi untuk meninggalkannya.

Tubuh Rio bergetar, hatinya yang sakit mendesak airmatanya untuk berproduksi. Apakabar gadis itu? Apa gadis itu tau keadaannya saat ini? Jika tau? Apa gadis itu mengkhawatirkannya? Atau malah tidak peduli? Jika memang tidak tahu? Apa gadis itu mencoba mencari tau keadaannya?




Hi Pacarku J Rasanya masih sulit untuk dipercaya bukan? Apalagi kebersamaan kita belum terasa sampai kamu menghilang. Tapi tetap saja aku pacarmu kan? Dan kamu pacarku?

Kamu dimana Mario? Apa kabar? Aku merindukanmu, Dan kamu harus tau, rasanya sangat tidak menyenangkan, karena aku tidak bisa mengatakannya, karena kita tak bisa bertemu untuk sekedar mengobatinya.

Aku Rindu. Sungguh. Aku Rindu senyummu yang menyambutku didepan rumah. Aku rindu kata-katamu yang menyebalkan, aku rindu keributan dimobilmu saat berangkat sekolah, aku rindu dipeluk dengan begitu erat, aku rindu pesan singkatmu yang hadir diponselku setiap saat, bahkan… aku rindu kamu beri perintah. Lihat! Aku juga merindukan hal yang paling tidak aku sukai. Tidakkah itu membuktikan aku bersungguh-sungguh?

Rio, entah apa yang kamu rasakan? Apa yang sedang kamu lakukan? Aku hanya ingin bertanya. Apa kamu juga merindukanku seperti aku yang hampir mati merindukanmu?

Jika aku pernah berkata. Aku tak ingin bertemu kamu lagi. Aku menyesal telah mengatakannya. Aku tidak sadar, aku orang teraniaya, Yang katanya doanya selalu terkabulkan. Tapi aku bersumpah, aku tidak berharap bahwa bagian ini yang akan dikabulkan.

Mario aku mecintaimu. Apapun yang akan terjadi, aku mencintaimu.

Jangan kembali, jika kamu memang tidak bisa. Karena aku juga tidak akan melangkah maju untuk mensejajari langkahmu.

Teruslah berjalan… sendiri. Tidak apa-apa kan? Ya! Tidak apa-apa Mario. Karena kamu tidak benar-benar sendiri, kita melangkah bersama. Hanya saja aku cukup dibelakangmu.

Carilah kebahagiaan dirimu sendiri, Rio. Tak perlu mengkhawatirkanku, karena aku berjanji, aku juga akan mencarinya. Kebahagiaanku sendiri.

Terimakasih Mario. Atas Cintamu yang suci. Maaf jika aku menodainya. Mulai sekarang, aku bukan lagi .. pacarmu.

Yang mencintaimu, Ashilla.

Air mata Rio menetes, hatinya sakit. Apa maksudnya? Mengapa?

“ Shilla.” Desisnya serak. “Apa maksudnya? Apa?” meski Ia bertanya berkali-kalipun tak akan ada yang menjawabnya. Keadaan Membiarkannya dalam kesunyian yang menambah perih luka dihatinya.

Ia menangis, untuk kesian kalinya… karena cintanya.


***


Tubuh Alvin menegang, mengintip Rio yang nampak sangat terluka ketika membaca surat di dalam kotak biru itu, entah mengapa membuat Ia merasakan luka yang sama. Ia tidak bersungguh-sungguh berkata bahwa dia tidak membaca surat didalam kotak itu, Ia membacanya dan Ia menyesal tidak berinisiatif membuang surat itu.

Alvin usap airmata yang mulai menetes satu persatu, melihat kearah Rio lagi yang kini tengah meracaukan sesuatu yang tak Ia dengar. Ia tau pemuda itu tengah kehilangan arahnya.

Dengan perlahan Alvin menutup pintu ruangan itu, yang sengaja tidak Ia tutup secara sempurna untuk bisa mengintip dan bisa tau bagaimana reaksi Rio setelah membacanya. Setelah tau Rio bereaksi sehancur itu, Dia tau, dia tidak bisa tinggal diam.

To be continued….

1 komentar:

  1. Seriusan aku nangis. Cengeng bangeet gilaa:'( feelnya kak nyetuh banget bagus. Hahaha baru baca ini aja udah mewek kenapa sih shilla harus mundur, berhenti berjuang. Aaa ify jahat nih

    BalasHapus