Mobil Cakka melaju pelan, lalu berhenti didepan gang
kecil yang tidak bisa dilalui mobil. Ia matikan mesin mobilnya, yang Hal itu
membuat gadis berambut panjang disampingnya mengangkat kepala, gadis itu Nampak
menghapus airmata yang membasahi pipinya dengan cekatan .Cakka
sangat yakin gadis itu menangis selama terus-menerus menunduk dalam perjalanan.
Gadis itu menoleh. Menatapnya sendu. “ Makasih yaa.”
Katanya serak dan bergetar.
“Shill..” Ujar Cakka Khawatir. Namun dengan cepat
Shilla meletakkan jari telunjuknya di bibirnya, membuatnya harus mengurungkan
niat untuk mengkhawatirkan gadis itu.
Lalu tanpa disangka gadis itu tersenyum lebar sampai
membuat mata bulatnya terpejam. “Gak papa.” Katanya dengan suara yang lebih
baik. “ Makasih ya sekali lagi. “ Lanjutnya lalu segera melompat turun dari
mobil milik Cakka. Melambaikan tangan sekali lalu menutup pintu mobil itu.
Cakka masih diam, Ketika gadis itu dengan langkah
pelan telah melangkah pergi menjauh darinya. Cakka tau gadis itu sedang tidak
baik-baik saja, bahkan Cakka tau saat ini gadis itu tengah berjalan sambil menangis.
Cakka memalingkan wajah, tak kuasa melihat tubuh
gadis itu mulai bergetar. Cakka memukul stir mobil emosi, wajahnya sudah merah
padam. Ia marah, melihat sahabat yang paling Ia cintai diperlakukan seperti
ini. Bukannya Ia pernah mengingatkan bahwa Ia akan murka jika lelaki itu
menyakiti Shillanya.
Cakka mengambil ponsel dari saku seragam sekolahnya,
menekan beberapa tombol lalu mendekatan ponsel itu ditelinga.
“Hallo bang. Cakka mau minta tolong. Ada yang perlu
diberi pelajaran. Di gang deket lapangan. Cakka yakin sasaran pasti lewat sini.
Iya. Segera ya bang. Bawa masa yang banyak bang kalo perlu. Jika perlu kita
bikin sampai mati.”
***
Rio hampir frustasi memikirkan kenapa kesalahpahaman
seperti ini bisa terjadi, Membuatnya sama sekali tidak berkonsentrasi saat mengendarai
mobil. Kenapa Shilla melihatnya
bertindak seperti halnya pemuda brengsek.
Dari berbagai masalah yang sudah menimpanya,
tidakkah semua ini cukup. Mengapa dunia begitu tidak adil untuk hidupnya.
Rio Menginjak pedal gas semakin dalam, melajukan mobil yang Ia pinjam dari Alvin secepat yang Ia bisa, membelah jalanan Jakarta yang sedikit lenggang
seperti memihaknya. Ia harus segera menemui gadis itu, secepatnya. Hanya gadis
itu tujuan hidupnya, jika Ia tak lagi bisa disisi gadis itu. Percayalah, Rio akan memilih mati sebagai jalan terakhirnya.
Rio menautkan alis, menyipitkan mata melihat
setidaknya ada 6 pemuda yang dengan menantang berdiri di jalan yang akan Ia
lewati. Ia mendengus kesal, apapun yang sedang terjadi saat ini, Ia tak sedang
ingin bermain-main. Apa yang sebenarnya diinginkan mereka? Uang?
Rio menghentikan laju mobilnya. Menatap satu persatu
gerombolan pemuda itu dengan penuh Tanya. Rio menautkan alis, merasa mengenali
salah satu pemuda dari 6 pemuda itu.
“ TURUN!” kata salah satu dari mereka sambil menunjuk
kearahnya.
Rio mendengus lagi, merasa ini benar-benar membuang
waktunya. Ia turun, bermaksud memberi uang kepada mereka yang mungkin menjadi
alasan mereka
menghentikan perjalanannya.
Baru Rio membuka mulutnya untuk sekedar bertanya
‘ada apa’, salah satu pemuda dengan kemeja kebesaran menghampirinya dan menghantam rahangnya dengan
keras. Membuatnya langsung terjungkal karena tidak siap.
Dengan perlahan Rio yang masih linglung berdiri,
belum sampai tubuhnya berdiri tegak seseorang dengan cepat kembali menyerangnya
dengan menendang perutnya keras. Ia kembali terjungkal hingga punggungnya
membentur kap mobil milik Alvin.
Tidak sampai disitu, ada yang dengan berkali-kali
menendang dan meninju perutnya. Ia hanya pasrah, benar-benar tidak bisa mengelak.
Ia tidak terlalu suka berkelahi, bahkan dia tidak bisa berkelahi. Ia biarkan
tubuhnya terasa semakin nyeri dengan serangan yang tidak ada habisnya, membuat
dadanya sesak dan sangat menyakitkan.
Entah sudah serangan keberapa, yang Rio rasakan kali
ini wajahnya yang menjadi sasaran. Seseorang sedang memukulnya dengan membabi buta. Rio
tidak tau siapa yang melakukannya, bahkan Ia tidak ingin pusing memikirkannya karena
Ia tengah sibuk memikirkan Ia akan mati sebelum meluruskan masalahnya.
Tubuh Rio terhempas menghantam aspal, setelah
pegangan dikedua tengannya dilepaskan. Setelahnya dia merasa sekelilingnya
hampir seperi tidak nyata. Orang berlari, orang-orang berteriak..
“ Kamu pantas
mati.”
“ Ada orang. Ayo
Kabur!”
“APA YANG KALIAN
LAKUKAN!’
“ Ini karena.. sudah
menyakiti Shilla.”
“Buruan Kka. Ayo
lari.”
“ Kejar mereka!
Kejar!”
“ Yo. Yo. Bangun
yo.”
Rio tak ingat apa-apa lagi.
***
Manda
berdiri di depan
ruangan perawatan Rio
dengan cemas, tangannya menggenggam
tangan suaminya setengah menangis. Matanya semakin
berkaca-kaca ketika mendengar
suara teriakan dari
dalam. Teriakan Rio.
“ Zeth..” hati Manda terasa di iris-iris, menyadari
bahwa putra tunggalnya semakin menderita saat dia mencoba selalu berada
disisinya.
“ Tenanglah manda. Anak kita kuat. “ ujar Zeth
meyakinkan, merengkuh bahu istrinya itu semakin kuat. Meski dalam hati, Ia merasakan
hal yang sama dengan manda. Ia khawatir, Ia kalut, ini untuk pertama kalinya.
Selama ini pemuda itu tidak pernah melewati garis tembus pandang yang tanpa
sadar Ia ciptakan, membuat putra tunggalnya itu selalu dalam batas aman,
terlindungi. Dan Ia sadar, kini semuanya telah berubah, Rio telah melewati
garis itu, dan Rio melewatinya terlalu jauh.
Alvin yang juga tengah menunggu dengan cemas di lorong
rumah sakit depan ruang perawatan Rio, meringis nyeri mendengar ucapan ayah
dari sahabatnya, Ia ingin menyangkal, karena Rio tak sekuat yang Pria dewasa
itu pikir. Meski tidak pernah mengatakannya, Alvin selalu tau saat pemuda itu
tengah kesepian, dan terkadang nampak
terlihat sangat kecewa-entah karena apa. Rio benar-benar tidak pernah membagi
keresahannya, ini hanya tebakan seorang sahabat 10 tahun.
Suara
teriakan itu terdengar
lagi, begitu serak
hingga Alvin hampir
tak mengenalinya. Tubuhnya menegang, merasa tidak becus menyandang
sebagai sahabat Rio.
“ Berapa lama lagi ini Zeth?” Tanya manda lagi, menunggu
di luar seperti ini terasa bagaikan siksaan yang paling mengerikan.
Zeth diam saja, memperkuat rengkuhannya pada bahu
manda. Ia pun sama sakitnya seperti Manda.
Penantian
itu terasa begitu
lama, lama sekali
sampai tim dokter
dan perawat keluar dan
mengizinkan salah satu untuk masuk.
Dengan
hati-hati, Manda melangkah
masuk ke ruangan
perawatan Rio. Hatinya semakin
sakit, melihat Rio yang penuh luka, perban di pasang di beberapa bagian, dan
banyak lebam yang mungkin ada disekujur tubuhnya sangking banyaknya.
“ Mario..” Panggilnya lirih. Airmatanya sudah siap
untuk kembali menetes.
Membuat Rio yang tengah dengan pandangan kosong
melihat jendela, menoleh cepat. Menatap Manda dengan begitu dingin.
Manda menghela nafas, mengulurkan tangannya
bermaksud meraih tangan putra tunggalnya untuk Ia genggam. Namun dengan cepat
Rio menepis tangan manda.
Manda terlonjak kaget dengan gerakan Rio yang cepat.
Ia menatap Rio sendu, Rio membalasnya dengan tajam. “Jangan Sentuh saya..”
desis Rio dingin.
Manda tersentak sebentar, karena detik selanjutnya
Ia kembali mengulurkan tangannya untuk mencoba meraih tangan Rio. “Rio..”
Panggilnya lagi.
Rio mengelak dengan menggeser sedikit tubuhnya,
melupakan nyeri yang menyerang hampir di sekujur tubuhnya saat dia bergerak. “
JANGAN SENTUH SAYA!!” Ia marah, marah dengan dengan perempuan paruh baya yang
saat ini tengah menangis didepannya, marah dengan suaminya perempuan ini. Ia marah, Marah dengan keadaan. Jika akan seperti
ini, Ia lebih memilih orangtuanya yang nyatanya tidak peduli padanya tidak
pulang untuk selamanya.
“ Ma.af.in. mama..” kata Manda di tengah Isakannya.
Rio melengos. Apa dia bilang? Maaf? Andai wanita ini
melakukannya sejak 3 tahun yang lalu, ketika wanita ini mulai memutuskan untuk
meninggalkannya sendiri, membuatnya kesepian, membuatnya harus terus-menerus
merasakan sakit hati dan hanya bisa dipendam. mungkin Ia akan memaafkan dengan
mudah. Tapi kini, setelah 3 tahun yang mengerikan, akan beda ceritanya. Hatinya
sudah terlanjur sakit, hatinya sudah berlubang karena terlalu
banyak menerima pesakitan.
“ Pergi.. “ kata Rio datar, tanpa melihat ke lawan
bicaranya.
Hati manda semakin sakit, Ia bersumpah telah
menyesali keegoisannya. Tidakkah Ia mendapat ampun.
“ PERGI !” Rio tak bisa lagi mengontrol emosinya, Ia
ingin semua tau, betapa dalam sakit yang Ia rasakan.
BRAAK. Zeth masuk setelah mendorong pintu ruangan itu
kuat hingga membentur dinding. “TARIK UCAPANMU MARIO!” teriaknya murka, Ia
mendengar semuanya. Apa-apaan anak ini, berani-beraninya mengusir ibunya pergi. Pikirnya
marah.
Rio diam sesaat, membalas tatapan murka ayahnya
dengan tatapan sengit. “ Lebih baik aku mati.” Balasnya dingin.
“KAMU!..
“ JANGAN Zeth!” Manda memeluk tubuh tinggi suaminya,
menahan lelaki itu yang sudah mengangkat tangan besarnya. “ Jangan.” Katanya
lebih pelan, lalu mengeratkan pelukannya.
Zeth menghela nafas, melunakkan tatapannya pada Rio
yang masih menatapnya sengit. “ Beristirahatlah.” Ujar Zeth dengan nada lebih
rendah. Ia lepaskan pelukan Manda lalu mengangkat wajah istrinya itu dengan
lembut.
Ketika Manda sudah menatapnya dengan mata basah. Ia
memberi senyum kaku. “ Kamu juga perlu istirahat. Ayo pulang “
Manda mengangguk dalam diam. Membalikkan badan,
membuka mulut untuk sekedar mengatakan pamit untuk pulang namun dengan kecewa
Ia harus mengurungkan menyuarakan suaranya, karena Rio telah memutar kepalanya
kembali menatap jendela disampingnya.
“Ayo..” ajak Zeth lagi, menarik Manda pelan dan
manda hanya bisa menurutinya dalam diam. Meninggalkan ruangan dingin itu tanpa
berkata apa-apa lagi.
***
Alvin menghela nafas, baru saja kedua orang tua
sahabatnya berpamitan untuk pulang dan menitipkan Rio padanya.
Saat ini dia tengah berdiri mematung didepan pintu
ruang rawat Rio, tangan kirinya menenteng kotak biru yang Ia temukan diatap gedung.
Dan ketika melihat isinya, Ia langsung tau hadiah ini untuk siapa.
Alvin hanya diam didepan pintu cukup lama, sampai
tangan kanannya meraih kenop pintu untuk membukanya, lalu dengan langkah pelan memasukinya.
Alvin duduk di sebelah
ranjang, dan Rio langsung menyadari
kehadirannya.
“ Hai.” Alvin diam sebentar, memberi jeda.“ Bad boy. ” Lanjutnya bergurau.
Rio memberi senyum miring untuk membalas sapaan
Alvin.
“Apa berkelahi menyenangkan kayak yang lo pikirin?” Tanya Alvin kembali bergurau. Ia ingat kata-kata
Rio ketika mereka masih duduk di kelas 1 SMP. Katanya “Berkelahi kayaknya nyenengin ya, jadi tambah keren juga.”
Rio tersenyum lagi, lebih lebar. Ia menggeleng pelan. “Rasanya gak
sekeren yang gue pikir, Ini yang terakhir.. gue rasa.”
Alvin terkekeh, tidak lama. Karena detik
selanjutnya, perasaan bersalah kembali menggelayuti hatinya. “Maaf.” Kata Alvin
akhirnya.
Rio mengerutkan dahi, menatap Alvin dengan ekspresi
bertanya.
“ Gue udah tau lama soal perasaan Ify ke lo. “ kata
Alvin, berhasil membuat Rio tercengang. “ Maaf karena gak pernah ngasih tau lo.
Gue takut kalo lo tau… Lo bakal berubah sikap ke dia dan bikin dia patah hati.”
Rio masih tidak menyahut, masih memperhatikan Alvin
yang terlihat akan melanjutkan ucapannya.
“Tapi sekarang gue sadar. Gue salah. Karena dengan
sikap lo yang selalu care ke dia
padahal lo gak ada maksud apa-apa, bikin dia ngambil kesimpulan beda dari niat
awal lo yang bertindak seperti halnya sahabat pada umumnya. Dia nyiptain
harapannya sendiri.”
“… dan saat lo nemuin Shilla sebagai cinta sejati
lo, mungkin itu bikin dia sadar harapan yang Ia pikir akan terwujud ternyata
hanya sebuah harapan….”
Alvin diam sebentar. Merasakan tiba-tiba sakit
menyerang hatinya begitu dalam. “…. Mungkin Karena itu dia nganggep kamu selalu
bikin dia hancur…. Padahal, dia hancur kerena harapannya sendiri.”
Alvin menghela nafas panjang, menandakan Ia telah
selesai bicara.
Hening sesaat, sampai Rio mendesah dan menyuarakan
suaranya. “ Lo gak perlu minta maaf Vin. Ini bukan salah lo. Ini salah gue,
harusnya gue sadar dengan Sikap Ify yang semenjak kehadiran Shilla lebih
agresif ke gue. Tapi.. gue diem aja, gue masih berpura-pura kalo itu bukan
apa-apa.”
Rio diam sebentar, kembali mendesah. “ Yang Lebih
tepatnya gue tau dan pengen bertindak, tapi gak tau mesti bertindak gimana?
Posisi gue bener-bener bikin gue frustasi. Posisi gue sulit. Bukan bukan.. Posisi kita sulit.”
Rio diam untuk menyempatkan diri melirik Alvin yang
ternyata tengah mendengarkannya bersungguh-sungguh, terlihat dari keningnya
yang berkerut. “ Di sisi lain gue Cinta Shilla…”
“Cinta mati.. “ Alvin mengklarifikasi dengan
memotong ucapan Rio.
Rio tersenyum kecil, lalu mengangguk. “ Ya. Gue
cinta mati sama Shilla. Tapi gue juga gak bisa nunjukkin penolakkan gue ke Ify,
yang padahal bisa aja gue lakuin. Karena gue tau,
sahabat kita itu menghadapi kehidupan yang cukup sulit. Gue gak tega ninggalin
dia sendirian, tapi di sisi lain gue gak pengen numbuhin rasa cintanya ke gue. Karena gue tau ada lo yang cinta dia.” Rio
berhenti, untuk berdehem.
“ Cinta diam-diam lo. Yang buat gue mau gak mau
harus tetep care sama dia. Tetap ada
buat ngelindungi dia. menerima resikonya kayak sekarang. Dia jatuh cinta, tanpa gue bisa
membalasnya.”
Alvin mengangguk, menyetujui Rio. “ Gue masih gak
ngerti, sekarang gue mesti bersikap gimana? Gue pengen peduli sama dia, tapi
gue tau gue udah terlambat. Tapi kalo gue diem aja, gue juga tau, gue harus
berlapang dada menerima cinta gue gak akan terbalas.” Kata Alvin menanggapi.
Lagi-lagi Rio mendesah. “ Kenapa ya? Kita yang baru 18 tahun cobaannya udah berat banget. Tau gini, gue milih dihajar sampai mati.”
“ Jaga ucapan Mario.” Tegur Alvin marah. “ Kalo itu
bener-bener terjadi, bisa aja lo nyesel udah ngomong gitu. “ lanjutnya.
Rio tidak menyahut, hanya mengembangkan senyum
miring.
“ Bersyukurlah karena masih hidup. Karena setidaknya
Tuhan masih ngasih lo kesempatan buat ngelurusin
yang ini. “ Alvin melempar pelan kotak biru yang sedari tadi Ia pegangi di
tempat tidur samping Rio. “ Ada surat didalamnya, dan gue... gak baca surat itu.”
Rio mengerutkan dahi, sebenarnya dia masih belum
bisa menduga apa makna dari kehadiran kotak biru ini.
“ Gue kasih kesempatan buat lo baca surat itu dengan
tenang.” Kata Alvin lagi, karena Rio tidak kunjung menyahut. “ Gue keluar.”
Pamitnya. Lalu segera pergi meninggalkan ruangan itu, meninggalkan Rio yang
tengah menimang-nimang kotak biru berukuran sedang itu.
Ketika tubuh jangkung Alvin hilang dibalik pintu,
dengan hati-hati Rio membuka kotak itu. Menautkan Alis melihat isinya,
setidaknya ada 4 kue sussen yang sedikit hancur dibeberapa bagian.
Kue sussen adalah favoritnya. Setiap kali melihat
kue itu didepan matanya, rasanya Ia ingin melahap habis semua kue yang
disajikan. Namun kali ini berbeda, dia lebih tertarik membuka surat merah muda
yang diselipkan dikotak itu daripada mencomot salah satu kue sussen yang
terlihat menggoda itu.
“Hi Pacarku. “ Rio menyuarakan kalimat pertama surat
itu. Pacarku? Pacar? Mata Rio dengan cepat mencari siapa penulisnya. “Shil.la”
desisnya terbata. Astaga. Pantas Rio merasa tidak asing dengan kotak biru ini,
Ia sempat melihat kotak ini dijatuhkan Shilla ketika gadis itu berbalik pergi
untuk meninggalkannya.
Tubuh Rio bergetar, hatinya yang sakit mendesak
airmatanya untuk berproduksi. Apakabar gadis itu? Apa gadis itu tau keadaannya
saat ini? Jika tau? Apa gadis itu mengkhawatirkannya? Atau malah tidak peduli? Jika
memang tidak tahu? Apa gadis itu mencoba mencari tau keadaannya?
Hi
Pacarku J Rasanya
masih sulit untuk dipercaya bukan? Apalagi kebersamaan kita belum terasa sampai kamu
menghilang. Tapi tetap saja aku pacarmu kan? Dan kamu pacarku?
Kamu
dimana Mario? Apa kabar? Aku merindukanmu, Dan kamu harus tau, rasanya sangat tidak
menyenangkan, karena aku tidak bisa mengatakannya, karena kita tak bisa bertemu
untuk sekedar mengobatinya.
Aku
Rindu. Sungguh. Aku Rindu senyummu yang menyambutku didepan rumah. Aku rindu
kata-katamu yang menyebalkan, aku rindu keributan dimobilmu saat berangkat
sekolah, aku rindu dipeluk dengan begitu erat, aku rindu pesan singkatmu yang
hadir diponselku setiap saat, bahkan… aku rindu kamu beri perintah. Lihat! Aku
juga merindukan hal yang paling tidak aku sukai. Tidakkah itu membuktikan aku
bersungguh-sungguh?
Rio,
entah apa yang kamu rasakan? Apa yang sedang kamu lakukan? Aku hanya ingin
bertanya. Apa kamu juga merindukanku seperti aku yang hampir mati merindukanmu?
Jika
aku pernah berkata. Aku tak ingin bertemu kamu lagi. Aku menyesal telah
mengatakannya. Aku tidak sadar, aku orang teraniaya, Yang katanya doanya selalu
terkabulkan. Tapi aku bersumpah, aku tidak berharap bahwa bagian ini yang akan
dikabulkan.
Mario
aku mecintaimu. Apapun yang akan terjadi, aku mencintaimu.
Jangan
kembali, jika kamu memang tidak bisa. Karena aku juga tidak akan melangkah maju
untuk mensejajari langkahmu.
Teruslah
berjalan… sendiri. Tidak apa-apa kan? Ya! Tidak apa-apa Mario. Karena kamu
tidak benar-benar sendiri, kita melangkah bersama. Hanya saja aku cukup
dibelakangmu.
Carilah
kebahagiaan dirimu sendiri, Rio. Tak perlu mengkhawatirkanku, karena aku
berjanji, aku juga akan mencarinya. Kebahagiaanku sendiri.
Terimakasih
Mario. Atas Cintamu yang suci. Maaf jika aku menodainya. Mulai sekarang, aku
bukan lagi .. pacarmu.
Yang
mencintaimu, Ashilla.
Air mata Rio menetes, hatinya sakit. Apa maksudnya? Mengapa?
“ Shilla.” Desisnya serak. “Apa maksudnya? Apa?”
meski Ia bertanya berkali-kalipun tak akan ada yang menjawabnya. Keadaan
Membiarkannya dalam kesunyian yang menambah perih luka dihatinya.
Ia menangis, untuk kesian kalinya… karena cintanya.
***
Tubuh Alvin menegang, mengintip Rio yang nampak sangat terluka ketika membaca surat di dalam kotak biru itu, entah
mengapa membuat Ia merasakan luka yang sama. Ia
tidak bersungguh-sungguh berkata bahwa dia tidak membaca surat didalam kotak
itu, Ia membacanya dan Ia menyesal tidak berinisiatif membuang surat itu.
Alvin usap airmata yang mulai menetes satu persatu,
melihat kearah Rio lagi yang kini tengah meracaukan sesuatu yang tak Ia dengar.
Ia tau pemuda itu tengah kehilangan arahnya.
Dengan perlahan Alvin menutup pintu ruangan itu,
yang sengaja tidak Ia tutup secara sempurna untuk bisa mengintip dan bisa tau
bagaimana reaksi Rio setelah membacanya. Setelah tau Rio bereaksi sehancur itu,
Dia tau, dia tidak bisa tinggal diam.
To be continued….
Seriusan aku nangis. Cengeng bangeet gilaa:'( feelnya kak nyetuh banget bagus. Hahaha baru baca ini aja udah mewek kenapa sih shilla harus mundur, berhenti berjuang. Aaa ify jahat nih
BalasHapus